Review Buku: Pulang

Judul: Pulang

Penulis: Leila S. Chudori

Genre: Sejarah, Fiksi, Dewasa

Bahasa: Indonesia

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan: Keempat, 2013

Tebal: 461 Halaman

ISBN: 978-979-91-0515-8

 

Sekilas tentang penulis

Tahun 2012 Leila menghasilkan novel berjudul Pulang, yang kini telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris (Home), Prancis (Retour), Belanda (Naar Huis), Jerman (Pulang, Heimkehr nach Jakarta) dan Italia (Ritorno a casa). Novel ini memenangkan prosa terbaik khatulistiwa award 2013 dan dinyatakan sebagai satu dari β€œ75 Notable Translations of 2016 oleh world Literature Today”.

Leila S.Chudori merupakan penulis yang lahir di Jakarta, 12 Desember 1962 dan menempuh pendidikan di Trent University, Kanada. Karya awal Leila di publkasi di berbagai media mulai dia berusia 12 tahun. Leila menghasilkan kumpulan cerpen Malam Terakhir yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman Die Letze Nacht (Horlemman Verlag). Kumpulan cerpen 9 dari Nadira diterbitkan tahun 2009 (Kepustakaan Utama Grafiti) dan mendapatkan penghargaan Badan Bahasa Indonesia.

 

Deskripsi Novel

Novel ini secara garis besar menceritakan tentang kehidupan para burnonan politik yaitu Dimas dan ketiga orang temannya, yang mengembara dari satu negara ke negara lain dan berakhir di Prancis. Salah satu negara yang katanya mempunyai bahasa yang sulit dan juga menjadi kiblat fashion dunia. Kondisi politik Indonesia tahun 1965, pasca terjadinya pemberontakan PKI membuat situasi menjadi tidak menentu, hal itu membuat Dimas sang tokoh utama terdampar dan benar-benar menetap di Prancis. Saat itu pemerintah menuntut masyarakatnya memilih antara dua golongan, pro PKI atau anti-PKI.

 

Paspor dicabut, berpindah negara, berpindah kota,

Berubah pekerjaan, berubah keluarga…

… segalanya terjadi tanpa rencana. Semua terjadi sembari kami terengah-engah berburu identitas

Seperti ruh yang mengejar-ngejar tubuhnya sendiri

–Dimas Suryo

 

Dimas awalnya adalah seorang mahasiswa dan melanjutkan menjadi wartawan yang berlawanan arah politik, kemudian menjadikannya dikirim mengikuti kongres di Santiago. Mencari suaka ke Havana, Peking dan Eropa. Kejadian-kejadian itu yang membuatnya berakhir di Prancis. Dimas yang selalu bersifat netral dan tidak mau menentukan sikap politiknya dengan pemerintah saat itu, menyebabkannya di cap sebagai bagian dari perzinahan politik.

Di tahun 1960-an, situasi politik begitu panas. Kau di kiri atau kanan. Kau merah, merah jambu, atau hijau, dan kehijau-hijauan. Istilah dan terminologi bertaburan dalam diskusi, bantahan, dan tuduhan serta jeritan: Manipol, Nekolim, Revolusi, Kontra-Revolusi, dan ratusan akronim buruk lainnya yang sama sekali tak menarik untuk diingat, apalagi untuk dipelajari dan diteliti. Di zaman itu, Indonesia tak mengenal zona netral. Tak mengenal area kelabu. Kau harus menjadi bagian dari kami atau mereka. (Hlm.234)

Meskipun Dimas tidak terlibat kedalam PKI secara langsung, tetapi ia berhubungan dengan organisasi-organisasi yang terlibat kedalam organisasi tertentu. Sehingga menyebabkan Dimas tidak diterima lagi di Indonesia. Hal tersebut berimbas kepada anaknya Lintang Utara, meskipun ia lahir di Prancis. Ketika Lintang ingin menyelesaikan tugas akhirnya ia mewawancarai para keluarga eksil poitik di Indonesia. Namun ketika di Indonesia Lintang menjadi saksi atas tragedi reformasi Mei 98.

Kisah dalam novel ini menceritakan betapa kejinya pada saat itu. Orang berkuasa tanpa merasakan apa yang seseorang rasakan, bahkan media-media dibungkam jika ada yang berani mengkritik. Pada masa itu wartawan adalah sesuatu yang menyinggung sentimentil politik, bahkan wartawan adalah sesuatu yang diharamkan. Pada masa itu Dimas dan teman-temannya menjadi buronan politik, semasa hidupnya tidak tenang, selalu ada intel yang mengikuti, dam dikejar-kejar ketidakadilan. Mereka hidup pun dikejar-kejar rasa bersalah karena kawan-kawan di Indonesia ditembak atau bahkan menghilang begitu saja dalam perburuan peristiwa 30 September itu.

Sebagai pembaca saya sangat suka ketika penulis menyajikan latar belakang yang begitu dramatis, dan membuat saya merasakan langsung betapa mencekamnya kejadian saat itu. Alur cerita yang maju mundur pun dibuat menarik, ketika penulis mengibaratkan suatu kejadian dengan cerita mahabarata dari Indonesia. Penulis begitu pintar untuk mendeskripsikan ceritanya secara detail dan membuat pembaca mengulas kembali sejarah yang telah lama dikubur dalam-dalam. β€œFim-fim dokumenter resmi maupun buatan beberapa sineas dokumenter Australia dan BBC, ini adalah sejarah berdarah di Indonesia yang justru di kubur dalam-dalam.” (Hlm.254)

 

Kesimpulan

Novel ini selain menceritakan tentang pengkhianatan berlatar tiga peristiwa bersejarah, juga menceritakan tentang keluarga, persahabatan, dan juga percintaan remaja. Tetapi menurut saya sebagai pembaca, novel ini tidak disarankan untuk anak dibawah umur, melainkan untuk 17 tahun keatas sesuai dengan sarannya, karena memang ada bagian-bagian yang belum layak untuk anak dibawah umur.

Novel ini pun membuat saya mengagumi seperti apa sejarah pada saat itu, kata per kata yang disajikan awalnya membuat saya bingung, setiap bab selalu berbeda-beda dibolak balikan, dan mencari tokoh yang sebelumnya. Saya mengira bahwa novel ini akan terkesan berat dan sulit dimengerti karena mengangkat latar belakang peristiwa bersejarah, ternyata tidak. Cerita didalamnya mengalir begitu saja dan membuat pembaca mudah untuk mendeskripsikannya bahkan tidak terasa ketika sudah menyelesaikannya.

 

Referensi:

https://www.idntimes.com

https://anggiputri.com

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.