Aswaja Sebagai Cara Berpikir Dan Peranannya Dalam Menyikapi Penistaan Agama

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) adalah organisasi mahasiswa yang berasaskan Pancasila dan berlandaskan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Fokus kegiatan PMII tertuju pada nilai-nilai Keislaman, kemahasiswaan, keindonesiaan, kemasyarakatan dan ada di Kampus Universitas Pakuan Bogor sejak tahun 2002. Sebagaimana yang sudah disebutkan, PMII berlandaskan Ahlussunnah Wal Jamaah maka cara berpikir dan berprilaku harus sesui dengan Aswaja. Aswaja yang dimaksud adalah golongan terbesar umat islam yaitu pengikut imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.

Aswaja memiliki ciri-ciri yang khas yaitu merupakan kelompok mayoritas disetiap masa, berpegang teguh pada ajaran Rasulullah SAW dan tidak mengkafirkan orang Islam karena sebuah dosa.

Kader PMII dituntut berpikir berlandaskan aswaja, cara berpikir aswaja atar lain adalah at-tawasuth, at-tawazun, al-i’tidal dan tasamuh. At-tawassuth atau sikap tengahtengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. At- tawazun yaitu seimbang dalam menyikapi dalam segala hal. Al-i’tidal yaitu tegak lurus.Terakhir,Tasamuh yaitu toleransi.

Landasan aswaja ini memang cocok diterapkan di Indonesia, dengan beragam agama dan aliran kepercayaan. Keberagaman ini menuntut manusia yang berlandaskan Aswaja memegang teguh nilai nilai toleransi. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa kebebasan beragama dan menganut kepercayaaan haknya dilindungi oleh negara. Hak ini diatur dalam pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPRI)). ICCPRI telah diratifikasi melalui pengesahan UU nomor 12 Tahun 2005 tentang ratifikasi konvensi hak sipil dan politik. Hak ini sifatnya melekat dan tidak bisa dihilangkan. Negara berperan untuk menjaga HAM, yang berarti negara harus menjamin setiap individu
menikmati dan mendapatkan haknya secara utuh.

Menyoal tentang Indonesia, berbagai hal telah dilakukan pihak-pihak tertentu untuk memecah belah kesatuan bangsa. Dari mulai isu kebudayaan, ras, ekonomi dan hal-hal lain yang mengancam keamanan dan kestabilan negara. Bila kita melihat dari kacamata sejarah, munculnya NII (Negara Islam Indonesia) merupakan salah satu upaya
untuk memecah belah kesatuan bangsa. Hal ini dapat diredam dan diselesaikan secara bersama-sama dengan komitmen terhadap pancasila dan kesatuan NKRI.

Isu agama pernah menjadi isu yang strategis sehingga tercatat dalam sejarah hampir menggoyahkan keutuhan Negara Kestuan Republik Indonesia. Hal ini yang kemudian tidak bisa kita abaikan bahwa isu agama tetap menjadi ancaman bila disalah tafsirkan oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam perjalanannya, isu agama yang dalam hal ini adalah upaya untuk mengubah dasar negara dan bentuk negara tidaklah hilang secara seluruhnya melainkan terus berkembang dan berubah bentuk sehingga menjadi paradigma tersendiri dalam
masayarakat tertentu di Negara ini. Isu agama juga berkaitan erat dengan terorisme yang kasusnya tidak bisa dikatakan sedikit di Indonesia. Teror
berbungkus agama sudah bukan hal baru seperti hal nya pengeboman di gerja-gereja tempat hiburan dan lokasi-lokasi lainnya.

Dilansir dari badan pusat statistik, Sensus Penduduk 2010, persentase penganut agama islam adalah 87,2 percent dari total populasi (207,2 juta jiwa), keristen 6,9 percent dari total populasi (16,5 juta jiwa), Katolik 2,9 percent dari total populasi (6,9 juta jiwa), Hindu 1,7 percent dari total populasi (4,0 juta jiwa), Budha 0,7 percent dari total populasi (1,7 juta jiwa) dan Konghucu 0,05 percent dari totaal populasi (o,1 juta jiwa).

Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa islam adalah agama mayoritas yang mestinya menjadi contoh umat yang menjujunng tinggi nilai-nilai toleransi dan menciptakan kedamaian karena seperti telah kita ketahui islam adalah agama yang rahmatan lil alamin (agam yang memberikan kedamaian,keamanan, kenyamanan dan perlindungan).

Namun pada kenyataannya gesekan-gesekan dan konflik-konflik terjadi tidak hanya antar keyakinan, konflik pun terjadi antar umat islam itu sendiri. Dalam hadist pun dijelaskan bahwa umat Nabi Muhmmad ternagii dalam 73 golongan. Hadist yang dimaksud adalah “Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.” (HR Tirmidzi).

Dengan beragamnya golngan dalam internal islam sendir maka banyak sekali bermunculan istilah istilah seperti Fasisme religius,islam fundamentalis, islam tekstual, islam konservatif dan lain sebagainya. Dari keterangan diatas, permasalahan yang terjadi—yang ramai dibicarakan dimedia-media saat ini adalah permasalahan penistaan agama. 2 nama paling baru yang muncul adalah Yahya Waloni dan Muhammad kece. Kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Yahya waloni terjadi pada april 2021. Yaya waloni dijerat pasal berlapis sebagaimana termaktub dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidaana (KUHP). Pasal yang dijeratkan adalah Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45a ayat (2) UU ITE atau Pasl 156a KUHP. Yahya waloni adalah penceramah yang dikenal keras, bahkan dia menyebutkan “Roh Kudus” menjadi “Roh Kudis”. Sama halnya dengan Muhammad Kece, menjadi tersangka kasus penistaan agama. Pelaporan berawal ketika Youtuber dengan nama channel Muhammad kece melakukan streaming dengan nada merendahkan dan melecehkan Nabi Muhammad serta agama Islam. Di antara ucapan Muhammad kece yang dipersoalkan, yakni; dia menyebutkan kitab kuning yang diajarkan di pondok pesantren menyesatkan dan menimbulkan paham radikal. Selain itu, dia juga menyebutkan ajarn Islam dan Nabi Muhmmadd SAW tidak benar sehingga harus ditinggalkan.

Yang ingin saya bahas bukan pada proses hukumnya. Pada proses hukum sudah jelas secara alur dan ada undang undang yang mengatur itu. Yang ingin saya bahas adalah sikap dari para netizen mennaggapi video unggahan penistaan yang dilakuan oleh para tersangaka penista. Komentar di platform media sosial sangat tidak mencerminkan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai toleransi. Mereka yang mengatasnamakan islam begitu arogan dan dengan bangganya menistakan balik para tersangka penistaan agama. Dalam postingan-postingan penistaan agama, kita akan menjumpai komentar seperti “Darahnya halal”, “Sesat, inilah orang yg akan kekal di neraka jahanam,perusak kalimat AlQur’an” dan “Si Kapir Kristen bipang ini sok sokan Menjadi muslim Pake peci Dan seolah murtadz Itulah drama nya”. Kalimat-kalimat tersebut adalah contoh yang saya temui di postingan yang membahas Muhammad Kece.

Dari uraian diatas, dapat kita tarik sebuah keimpulan bahwa Islam yang benar adalah Islam yang berpegang teguh pada Ahlussunnah Wal Jamaah. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah tentunya yang berlandas pada ciri ciri dari aswaja yaitu 4 poin yang telah saya bahas.

Dalam contoh kasus yang saya sakjian, ada 2 kasus yang memiliki jenis yang sama namun dengan bentuk yang berbeda. Jenis permasalahannya yaitu penistaan dan bentuk pertama adalah penistaan dari pihak yang mengaku islam (yahya waloni) dan yang kedua adalah yang menistakan agama islam (Muhammad Kece). Aswaja sebagai metode berpikir umat muslim jelas menolak 2 kasus tersebut. Kasus pertama tidak sesuai dengan ciri aswaja yaitu “Tasamuh” atau toleransi. Sikap dan perbuatan menistakan agama lain adalah tindakan yang tidak sesuai dengan konspe islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Prilaku toleransi juga sudah dicontohkn oleh Nabi Muhammad ketika beliau memaafkan penghina dirinya, beliu melindungi tetangganya yang non muslim dan menjaga hubungan baik dengan nonmuslim yang sudah memiliki komitmen damai. Artinya tidak ada alasan untuk menghina, merendahkan dan menistakan agama lain bila sudah berpagang teguh pada nilai toleransi. Kasus kedua terkait penistaan dari pihak non-muslim, aswaja juga menolak untuk menanggapi secara arogan dan malah menistakan balik atau malah menanggapi dengan umpatan-umpatan. Sesuai dengan ciri aswaja yaitu “Tawassuth” yaitu tidak membalas mereka dengan penistaan tetapi juga tidak membenarkan prilaku penistaan tersebut. Aswaja harus disadari sebagai cara berpikir, bukan teologi atau keyakinan. Maka dari itu ketika penistaan dilontarkan kepada islam maka cukup dilaporkan kepihak yang berwenang dan berdoa memohon keteguhan hati dalam memeluk Islam.

Islam yang menjunjung tinggi toleransi bukan berarti Islam lembek terhadap pelaku penistaan agama. Seperti dilansir dari nu.or.id, Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) mengecam tindakan Muhammad Kece yang berpotensi memecahbelah kerukunan dan keharmonisan. PB PMII menyatakan, tindakkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) dan penistaan Agama adalah musuh utama Kemanusiaan. “Sebab tindakan Muhammad Kece tersebut berpotensi memecah belah kerukunan dan keharmonisan. Apalagi di tengah derasnya arus digitalisasi dan informasi, tindakan Muhammad Kece tersebut dapat memunculkan potensi ‘logical fallacy’ dan kesalahan tafsir dalam masyarakat,” kata Ketua Umum PB PMII Muhammad Abdullah Syukri melalui keterangan tertulisnya. Kesimpulan yang dapat diambil adalah Aswaja sebagai cara berpiikir tidak pernah menyetuji prilaku penistaan karena di dalamnya terkandung nilai toleransi namun bukan berarti kita membiarkan prilaku tersebut atau menyikapi secara apatis.

 

Referensi:

  •  https://www.nu.or.id/post/read/130998/pb-pmii-sara-dan-penistaan-agamamusuh-utama-kemanusiaan
  • Youtube : Ciri khas TV
  • CNN Indonesia
  • https://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69?

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.