Fenomena Post Truth (Pasca Kebenaran) di Era Digitalisasi serta Dampak dan Solusinya

Sumber Gambar : Google.com

Sebenernya, kata post-truth ini lebih cenderung digunakan dalam dunia politik, Sahabat. Peningkatan drastis penggunaan kata ini saja terjadi ketika topik politik tentang keanggotaan Uni Eropa di United Kingdom dan pemilihan presiden Donald Trump di Amerika Serikat sedang hangat-hangatnya pada tahun 2016.

Seperti yang dilaporkan oleh The Guardian (2016), dengan peningkatan penggunaannya itulah akhirnya kata post-truth terpilih sebagai “Word of the Year” versi Oxford Dictionary, kamus online terbesar dan terpercaya Bahasa Inggris Amerika dan British.

Simpelnya, post truth adalah era di mana kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran. Caranya? Dengan memainkan emosi dan perasaan kita.

Bahaya Post Truth

Tidak bisa dipungkiri bahwa media sosial membuat informasi jadi jauh lebih riuh dan bising. Tiap menit ada foto atau status baru yang di-update dan bikin kita jadi ketagihan smartphone. Ada berita yang beranak pinak. Kalau kita tinggal hape kita tiga jam aja, udah ada video viral baru dan banyaknya scroll di setiap aplikasi instagram, tiktok, facebook, dan platform digital lainnya. Pada intinya, saat ini putaran informasi bergerak secepat itu. Berubah, bergerak, bertambah dan berkembang biak. Arus ini yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan yang akhirnya ngebuat kita merasa kalau kebohongan tadi adalah kebenaran. dan muncullah yang namanya hoax dan hate speech (kebohongan & ujaran kebencian). 

 

Sumber Gambar: Ruang Guru.com

Filter Bubble

Hal lain yang bikin post truth bahaya adalah kerja samanya dengan filter bubble.

Filter bubble adalah algoritma yang dibuat oleh media sosial, di mana kita disuguhkan informasi “sesuai dengan yang kita suka aja”. atau Filter bubble adalah keadaan di mana informasi yang muncul di media sosial kita seragam. Hal ini disebabkan oleh filter algoritma media sosial yang menyaring informasi-informasi yang ada dan hanya memunculkan yang sesuai dengan preferensi pemilik media sosial. Bisa jadi, apa yang ada di media sosial A jauh berbeda dengan yang ada di media sosial B.

Kayak misalnya, kalau kamu sering love postingan mobil di instagram. Di explore kamu akan banyak konten-konten berbau otomotif. Kalau kamu sering love konten penyanyi/band favorit, maka explore kamu penuh dengan band atau penyanyi serupa. Kalau kamu demen nge-love postingan mantan, maka di explore akan berkumpul mantan-mantan kamu dari masa lalu (lho, kok horor).

Emang, niat awalnya, sih, baik. Supaya kita gak ribet dan merasa nyambung sama konten yang ditawarkan itu.

Tapi, secara gak langsung ini juga berakibat buruk. Bayangin. Kamu, dengan segala konten hoax yang disebar tadi, sepakat kalau misalnya, tokoh A jahat atau salah. Akhirnya kamu nge-love, like, dan share konten yang berpandangan kayak gitu. Nah, ini ngebuat media sosial bakal ngasih kamu konten yang nunjukin kalau si A jahat/salah terus-terusan.

Alhasil, kebentuk, deh, di mindset kamu kalautokoh A adalah tokoh yang jahat. Kamu percaya kalau, timbul confirmation bias, dan lama-lama hal itu akan jadi sebuah kebenaran di kepala kamu.

Bahaya Filter Bubble

  1. Menganggap pendapatnya merupakan pendapat mayoritas karena yang muncul di media sosialnya adalah orang-orang dengan pendapat yang seragam.
  2. Terperangkap dari perspektif yang berbeda.
  3. Membentuk pribadi menjadi cuek terhadap dunia sekitar. Hal ini disebabkan seseorang hanya disuguhkan oleh informasi yang dianggap algoritma sesuai dengan preferensinya sampai ia seolah-olah sudah mengetahui segala macam berita, padahal belum tentu. Lebih parahnya lagi, bisa jadi seseorang menjadi ignorant terhadap informasi yang “jauh” dari dirinya.
  4. Terjebak dalam filter bubble yang penuh hoaks. Algoritma media sosial tidak berarti informasi yang tersaring sudah terjamin validitasnya. Pembaca Indonesia masih seringkali hanya membaca headline dari suatu berita tanpa membaca secara mendetail isinya. Bisa jadi informasi yang muncul itu adalah hoax.
  5. Lebih vulnerable terhadap iklan. Berkat algoritma media sosial, para pengiklan dapat dengan mudah mensasar target pasarnya. Kamu akan lebih mudah menerima iklan terkait suatu produk yang kamu sukai dan bisa jadi mendorong kamu membeli barang secara spontan.
  6. Tenggelam dalam suatu konten yang disukai. Contohnya di laman explore Instagram kamu yang muncul sesuai dengan hal-hal yang kamu sukai sehingga kamu betah scrolling explore kamu.

Cara Mengurangi Filter Bubble

  • Rajin menghapus browsing history
  • Mengaktifkan ad-blocker
  • Membaca artikel dari sumber yang tidak bias
  • Sebisa mungkin perluas topik yang kamu konsumsi

Pada akhirnya, kita akan terjebak dalam kebenaran semu versi kita sendiri.

Makanya namanya filter bubble. Kita seolah berada dalam gelembung yang berisi informasi yang itu-itu aja. Kita seperti dipersulit untuk melihat keluar dari gelembung. Dan setiap orang terperangkap dalam gelembungnya masing-masing. Wajar kalau filter bubble adalah faktor penting dalam semakin berpengaruhnya fake news, hoax, dan hate speech (Pariser 2011, Rader dan Gray 2015).

Karena sejatinya, post truth itu bukan cuma tentang kebohongan yang disebar, tapi ketakutannya jauh lebih besar dari itu. Bagaimana era ini mengobarkan kebingungan di tengah arus informasi yang banyak dan bergerak cepat. Post truth, ngebuat kita jadi “Ini apaan sih? Yang bener tuh yang mana? Lho, katanya gini?” tapi faktanya berbeda, kerancuan media sosial ternyata didukung oleh berita-berita yang tidak lagi memfilter dan sesuai fakta dan data . Yahh.. ini semua adalah Propaganda media sosial sebagai alat poltik untuk menguasai manusia.

Solusinya

Post Truth kita tetap bisa melawannya. Cara paling gampangnya adalah dengan belajar berpikir kritis. Cari tahu suatu kejadian dari berbagai sisi. Lalu, jangan mentang-mentang kita berada di era yang serba cepat, kita jadi minder untuk “terlambat” dan malah jadi terburu-buru. Pastikan kita bisa menyimak dengan baik. Seringkali kita mendengar untuk melawan. Tapi coba ganti jadi mendengar untuk mencerna. Jadi, ketika ada suatu hal, kita bisa berpikir dulu sebelum mengambil keputusan dan juga sering- sering membaca buku karena dengan membaca dapat membentuk pola pikir yang kritis empati dan mindset yang tidak mudah dibohongi.

 

Sumber:
Zenius.Net.com
ruangguru.com
WikipediaPostTruth.com
ipb.ac.id filterbubble

Tentang Penulis

Muhamad Fadhil Ismayana

Manusia berjiwa Sosialis dan Kehidupan Realistis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.