Bogor – Prof. Dr. Yudhie Haryono, Ph.D., Direktur Eksekutif Nusantara Centre, menyampaikan pentingnya pemahaman mendalam terhadap Pancasila dalam pertemuan dengan Mahasiswa Pendidikan Kader Ulama (PKU) Angkatan 19 di Yayasan Dharmais, Bogor, Minggu (31/8).
Dalam kuliah umum bertema “Mengapa Kita Harus Menerima dan Mempelajari Pancasila?”, Prof. Yudhie menegaskan bahwa Pancasila bukan hanya dasar negara, tetapi juga fondasi moral, spiritual, dan intelektual bangsa Indonesia yang bersumber dari realitas sosial, sejarah perjuangan, serta kekayaan budaya lokal.
“Pancasila itu bukan hasil pikiran elite, melainkan lahir dari denyut nadi rakyat yang pernah bersama-sama dijajah, menderita, lalu berjuang. Ia adalah kristalisasi nilai-nilai luhur yang menyatukan Indonesia yang majemuk ini,” ujar Prof. Yudhie di hadapan para peserta.
Prof. Dr. Yudhie Haryono, Ph.D., menyampaikan materi Pancasila di depan Mahasiswa PKU XIX
Pancasila Sebagai Titik Temu dan Solusi
Dalam paparannya, Prof. Yudhie menyampaikan bahwa keberagaman bangsa Indonesia—dalam suku, agama, ras, bahasa, dan adat—merupakan bagian dari takdir Tuhan yang harus diterima, bukan dihindari. Pancasila, menurutnya, berperan sebagai perekat yang mencegah munculnya dominasi mayoritas atau tirani minoritas.
Ia juga menyoroti pentingnya pembebasan mental dari warisan penjajahan, terutama mentalitas inlander yang membuat sebagian masyarakat merasa lebih rendah daripada bangsa asing.
“Jangan ulangi sejarah di mana kita hanya menjadi konsumen ideologi asing. Kita punya kekayaan sendiri—Islam, kejawen, nilai-nilai lokal—yang disintesis menjadi Pancasila sebagai teori hybrid,” tegasnya.
Pancasila dalam Konteks Geostrategi
Lebih lanjut, Prof. Yudhie menyoroti posisi strategis Indonesia yang berada di simpul benua Asia, Australia, dan Amerika. Dalam konteks geopolitik global yang penuh kompetisi ideologis, Pancasila menjadi jawaban dalam menjaga kedaulatan dan keutuhan bangsa.
“Empat alinea dalam Pembukaan UUD 1945 adalah bentuk konkret dari ideologi Pancasila yang aktif: melindungi rakyat, mencerdaskan bangsa, menyejahterakan umum, dan ikut menata dunia yang damai dan adil,” jelasnya.
Tantangan Era Post-Truth dan Peran Refleksi
Di tengah derasnya arus informasi dan era post-truth, Prof. Yudhie menekankan perlunya refleksi dan kemampuan menyaring informasi secara kritis. Ia mengajak para peserta untuk tidak hanya belajar Pancasila secara kognitif, tetapi juga secara spiritual dan praktikal melalui praktik kontemplatif seperti uzlah, meditasi, atau iktikaf.
“Kita ini sedang hidup di zaman penghancuran pusat-pusat kebenaran. Jika tak punya filter nilai, masyarakat bisa menjadi Distrust Society—masyarakat yang saling mencurigai. Maka, pelajari Pancasila untuk membangun kembali kepercayaan dan karakter bangsa,” katanya.
Kader Ulama dan Tanggung Jawab Moral
Menutup sesi, Prof. Yudhie menyampaikan bahwa mahasiswa PKU sebagai calon ulama dan pemimpin umat memiliki peran sentral dalam menghidupkan Pancasila. Ia menegaskan bahwa keberhasilan Pancasila bukan di teks, tetapi pada keteladanan.
“Negara ini akan kuat jika diisi oleh manusia Pancasilais sejati—yang tidak hanya berbicara moral, tapi menjalani hidup sebagai uswatun hasanah, teladan dalam setiap lini kehidupan. Jangan jadi pribadi yang terpecah dan tidak fokus. Satu tujuan, satu komitmen, dan bersungguh-sungguh dalam belajar,” pungkasnya.
Acara ini menjadi bagian dari rangkaian pembinaan karakter dan wawasan kebangsaan bagi kader ulama muda, yang bertujuan mencetak pemimpin religius yang moderat, berilmu, dan cinta tanah air.
Penulis : Muhamad Fadhil Ismayana
Editor : Admin