Implementasi Aborsi Di Indonesia dari Perspektif Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009

Istilah Aborsi disebut juga dengan istilah Abortus Provocatus. Abortus provocatus adalah pengguguran kandungan yang disengaja, terjadi karena adanya perbuatan manusia yang berusaha menggugurkan kandungan yang tidak diinginkan, meliputi Abortus provocatus medicinalis dan Abortus provocatus criminalis. Abortus provocatus medicinalis yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan berdasarkan alasan/pertimbangan medis. Sedangkan Abortus provocatus criminalis yaitu penguguran kandungan yang dilakukan dengan sengaja dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku.

Saat ini Aborsi menjadi salah satu masalah yang cukup serius, dilihat dari tingginya angka aborsi yang kian meningkat dari tahun ke tahun. Menurut Badan Pusat Statistik Indonesia, angka pembunuhan janin per tahun sudah mencapai 3 juta. 1 Angka yang tidak sedikit mengingat besarnya tingkat kehamilan di Indonesia. Di sisi lain aborsi dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai tindakan pembunuhan, dikarenakan janin atau bayi yang ada di dalam kandungan seorang ibu berhak untuk hidup yang wajar, dan di dalam agama manapun juga tidak diperbolehkan seorang wanita yang sedang hamil menghentikan kehamilannya dengan alasan apapun. Selain itu banyak juga dijumpai di dalam masyarakat, berita yang mengungkap kasus aborsi. Berita tersebut memuat kasus aborsi baik yang tertangkap pelakunya maupun yang hanya mendapatkan janin yang terbuang saja, antara lain janin yang ditinggal begitu saja setelah selesai diaborsi, dan ada juga janin yang sengaja ditinggal di depan rumah penduduk atau di depan Yayasan pengurus bayi.

Hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada diri setiap orang sejak orang tersebut masih di dalam kandungan. Hal ini juga dipaparkan dalam Pasal 28A Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Selain itu Pasal 28B ayat (2) menentukan bahwa : Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28H ayat (1) menyatakan bahwa : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Pengaturan aborsi di Indonesia dari perspektif Undang – Undang Kesehatan termaktub dalam Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 194, dimana implementasi aturan aborsi di Indonesia dari perspektif Undang – Undang Kesehatan menyatakan bahwa: “Undang-undang Kesehatan yang baru memberikan jaminan bagi perlindungan keselamatan jiwa perempuan yang mengandung, dan memperkecil celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk kepentingannya sendiri. Aturan ini Penerapannya berjalan dengan baik, dan memperjelas aturan yang sebelumnya. Aturan ini melarang aborsi, tetapi tetap melegalkan aborsi bagi perempuan yang ingin melakukannya dikarenakan indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan.

Hal itu dilakukan untuk melindungi keselamatan jiwa perempuan yang sedang mengandung. Asas yang digunakan adalah asas Lex Posteriori Derogat Legi Priori antara aturan aborsi dalam Undang – Undang Kesehatan dan aturan aborsi di dalam HAM. Undang – Undang Kesehatan merupakan peraturan yang paling baru. Dimana asas ini menyebabkan pengaturan tentang aborsi di dalam Undang – Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebagai Undang-undang yang lebih baru mengenyampingkan aturan dalam Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini menjadikan aborsi dilegalkan dengan pengecualin tersebut”.

Realita di lapangan menunjukkan banyak permasalahan yang timbul di luar alasan-alasan medis serta alasan perkosaan, dan lebih banyak dipengaruhi pandangan-pandangan sosiologis. Alasan-alasan sosiologis ini sebenarnya tidak diperbolehkan sebagai dasar pengguguran kandungan di masyarakat justru amat mendominasi. Alasan-alasan seperti ini biasanya dilemparkan oleh wanita yang bersangkutan, suaminya atau bahkan keluarganya. Adapun alasan-alasan tersebut antara lain:

  • Kehamilan akibat hubungan kelamin di luar perkawinan

Pergaulan bebas di kalangan anak muda menyisakan satu problem yang cukup besar. Angka kehamilan diluar pernikahan meningkat tajam. Hal ini disebabkan karena anak muda Indonesia belum begitu mengerti arti pergaulan bebas yang aman, kesadaran yang amat rendah tentang kesehatan. Hamil di luar nikah jelas merupakan suatu aib bagi wanita yang bersangkutan, keluarganya maupun masyarakat pada umumnya.

  • Alasan-alasan sosio ekonomis

Kondisi masyarakat yang miskin, biasanya menimbulkan permasalahan yang cukup kompleks. Karena terhimpit kemiskinan itulah mereka tidak sempat memperhatikan hal-hal lain dalam kehidupan mereka yang bersifat sekunder, kecuali kebutuhan utamanya mencari nafkah. Mereka kurang memperhatikan masalah-masalah seputar reproduksi. Kehamilan yang terjadi terpaksa digugurkan dikarenakan mereka tidak menginginkannya, sehingga dilakukanlah aborsi.

  • Alasan anak sudah cukup banyak

Terlalu banyak anak sering kali memusingkan orang tua. Adakalanya jika terlanjur hamil mereka akan sepakat menggugurkan kandungannya dengan alasan sudah tidak mampu mengurusi anak sedemikian banyaknya.

  • Alasan belum mampu punya anak

Banyak pasangan muda yang tergesa-gesa menikah tanpa persiapan terlebih dahulu. Padahal salah satu konsekuensi perkawinan adalah lahirnya anak. Lahirnya anak akan memperberat tanggung jawab orang tua yang masih kerepotan mengurus hidupnya sendiri. Oleh sebab itu mereka sepakat untuk tidak memiliki anak dulu untuk jangka waktu tertentu, dan jika sampai mempunyai anak mereka akan menggugurkan kandungannya.

Purwanto, S.H.,M.H., menyatakan bahwa: “Suatu aturan idealnya berjalan berdampingan dengan pelaksanaannya, sebaik apapun aturannya, jika dijalankan oleh oknum yang tidak baik, itu akan sia-sia, tetapi suatu peraturan yang sederhana, sekalipun jika aturan itu dijalankan oleh orang yang punya komitmen dan berintegritas, maka aturan tersebut akan berjalan efektif. Keadaan yang dicita-citakan oleh Undang-undang akan berjalan sesuai dengan kenyataan atau praktiknya.

Aturan yang mengatur terkait aborsi dan HAM ini sudah baik, sekarang kembali kepada orang-orang yang melaksanakannya, harus juga dilaksanakan bersama-sama dengan baik. Aturan yang mengatur aborsi itu sendiri, dan dari segi HAM sudah sangat baik dan sangat ketat, sangat susah untuk menembus atau mendiskriminasikan aturan aborsi ini. Ada dispensasi yang sangat ketat. HAM sendiri sudah sangat jelas menolak aborsi, dengan alasan apapun. Namun dalam perkembangannya, hukum itu kan dinamis, mengikuti perkembangan masyarakat. Banyak orang melakukan aborsi dikarenakan masalah sosial kemasyarakatan yang terjadi, misalkan saat seseorang hamil, tetapi sebenarnya kehamilannya itu tidak diinginkan (KTD) dikarenakan akibat perkosaan, sehingga menimbulkan kerusakan batin dan mental bagi perempuan yang mengandung.

Sebagian masyarakat berpendapat bahwa itu boleh digugurkan, tetapi HAM tidak mengizinkan, karena janin mempunyai hak untuk hidup,  dan dalam implementasinya HAM mempunyai pembatas, yaitu oleh Undang – Undang dan Hak Asasi Manusia, dimana ketika aborsi dilakukan sesuai syarat dan sesuai dengan aturan yang ada yang diatur dan sesuai dalam Undang – Undang maka, aborsi tidak melanggar HAM. Berbanding terbalik apabila ada oknum yang ingin memanfaatkan celah hukum dari peraturan yang ada, misalkan memanipulasi data kehamilan, tidak termasuk dalam indikasi kedaruratan medis dan perkosaan, maka aborsi tersebut melanggar HAM, dan jelas merupakan suatu perbuatan pidana.

Hal ini terjadi karena adanya akibat negatif atau “ipso facto”. Dimana hal ini bukan hanya sekedar memenuhi tuntutan hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi, menjadi tindakan pengambilan keputusan yang rasional dan menghormati kelangsungan hidup dan harkat semua pihak sehingga tidak memikirkan kepentingan diri tetapi kepentingan umum (the greater goods for the greatest numbers).

Sumber :

  1. Badan Pusat Statistik. 2020. “Data Sensus Kesehatan”, https://www.bps.go.id/subject/30/kesehatan.html
  2. Suryono Ekotama dkk. 2001. Abortus provocatus bagi korban perkosaan, Andi Offset Yogyakarta, hlm 34-35
  3. Echols, dan Hasan Shaddily. 1992. Kamus Inggris Indonesia. PT Gramedia:Jakarta. Halaman 9 Undang – Undang Republik Indonesia no. 36 tahun 2009
  4. Sulistyowati Irianto. 2008. Perempuan dan Hukum (Menuju Hukum yang
    Berspekstif Kesetaraan dan Keadilan), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 521 – 522

 

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.