Yang Salah dari Gender

Gambar 1: sumber dari google

Saya mulai terganggu dengan status perempuan saya saat beranjak remaja, kala itu saya terus diprotes karena menurut mereka saya kurang feminim, kurang rapih untuk ukuran bagaimana perempuan seharusnya menurut orang-orang di sekitar saya. Berbagai kritik kosong juga tuntutan tersebut membuat saya berpikir: saya marah karena saya dilahirkan sebagai seorang perempuan.

Pemikiran tersebut bertahan di dalam otak saya selama bertahun-tahun. Semakin saya disinggung mengenai feminitas saya yang menurut orang-orang masih kurang, semakin saya jengkel terhadap jenis kelamin yang saya miliki.

Sampai ada suatu momen di mana saya mulai mengenal hal-hal baru, saya juga mulai melihat hal-hal lama dengan sudut pandang yang baru. Semua itulah yang membuat saya tersadarkan bahwa selama ini bukan takdir saya yang dilahirkan sebagai perempuanlah yang patut disalahkan, melainkan bagiamana masyarakat membuat standarisasi tentang bagaiaman perempuan seharusnya bagi mereka. Yang salah bukanlah perbedaan, tapi pembedaan.

Saya mengalami sendiri bagaimana karena keperempuanan saya ini, saya selalu dinomorduakan dalam ranah publik jika yang saya hadapi adalah kaum lelaki. Saya juga melihat sendiri bagaimana penuh ketidakadilannya kehidupan sosial yang begitu mengagungkan kaum laki-laki. Saya pun mengenal itulah apa yang disebut dengan bias gender.

Bias gender merupakan perilaku bias atau favoritisme terhadap gender terntu. Lingkungan kita yang selama ini penuh dengan nilai-nilai patriarki tentu saja memiliki bias yang condong terhadap kaum lelaki. Para laki-laki dianggap lebih kuat, penuh rasionalitas, lebih unggul dalam banyak hal daripada perempuan. Bahkan ketika ada stigma terhadap laki-laki pun, seperti ketika mereka yang dianggap memiliki birahi yang amat besar, malah hal itu mempunyai sisi posistif bagi mereka. Karena dengan stigma tersebut kaum lelaki malah dimaklumi ketika mereka melakukan tindakan kekerasan seksual kepada perempuan. Segila itu!

Bias gender diakibatkan karena kurang adanya pemahaman masyarakat luas tentang perbedaan dari pada seks dan gender. Masyarakat kebanyakan selama ini menganggap bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh jenis kelamin atau seks mereka. Itu merupakan suatu kekeliruan besar karena faktor internal yang dominan menjadi pembentuk kepribadian seseorang tidak bergantung pada gender ataupun seks mereka. Feminitas tidak selalu lebih kuat dalam diri seorang perempuan, dan maskulinitas tidak selalu lebih kuat dalam diri seorang laki-laki. Bukan hal aneh ketika perempuan memiliki maskulinitas yang kuat, dan tidak aneh juga saat laki-laki mempunyai feminitas yang kuat dalam dirinya.

Sikap bias gender yang selama ini terpraktikkan di lingkungan kita bukan berarti bukan tidak mungkin untuk melawan hal tersebut.  Penuntutan yang penuh nilai-nilai kesetaraan yang digaungkan feminis atas faham feminisme lah yang bisa melawan berbagai masalah bias gender tersebut.

Saat ini gaungan gerakan kesetaraan gender makin marak terjadi. Berbagai gerakan dalam banyak sektor pasti memiliki tuntutan kesetaraannya sendiri. Termasuk dalam gerakkan kemahasiswaan yang salah satu nyatanya ialah gerakkan KOPRI. Tapi tentu saja hal ini tidak luput dari lawan, yaitu para kaum yang merasa kekuasaannya terancam tentu saja tidak diam.

Macam-macam gerakan yang anti kesetaraan pun ikut berkampanye. Katanya kodrat laki-laki adalah dilahirkan kuat. Katanya kodrat perempuan memang dilahirkan lemah akal, dan berbagai macam kampanye kurang akal sehat lainnya yang mengatasnamakan kodrat. Seolah-olah perempuan dibenci penciptanya sendiri.

Yang terparah adalah ketika di dalam forum legislatif atau DPR yang membuat peraturan berskala nasional memiliki rancangan undang-undang yang penuh akan bias-bias terhadap gender tertentu. Rancangan undang-undang itu bernama Rancangan Undang-Undang Ketahanan Keluarga(yang selanjutkan akan disebut RUU KK). RUU ini dengan jelas memiliki bias gender terhadap laki-laki dan mendiskriminasi perempuan. Bagaimana RUU ini mengatur dan membatasi ruang gerak seorang istri hanya pada ranah domestik saja sudah bertentangan dengan nilai kesetaraan yang harusnya sudah dimiliki dan dipraktikkan di zaman yang katanya sudah maju dan penuh modernisasi ini.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya, KOPRI merupakan salah satu subjek yang ikut bergerak menekan bias-bias gender dalam masyarakat. Dalam hal ini, kader KOPRI pada khususnya, dan seluruh kader PMII pada umumnya harus memiliki gerakkan yang lebih massif lagi dalam memberantas nilai-nilai patriarki.

Kader KOPRI harus menyadari bahwa ada hak yang direnggut oleh sistem dan harus kita rebut kembali. Ada masalah besar yang hanya bisa terselesaikan jika semua pion-pion dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia kita bergerak bersama. Karena ini menyangkut tentang kehidupan berbangsa yang dijalani kita semua.

Yang perlu ditekankan adalah kewajiban mereduksi bias gender bukanlah tugas perempuan saja. Kerena melawan patriarki tidak harus menjadi seorang perempuan, karena yang mendukung patriarki pun tidak semuanya laki-laki. Bias gender yang disebabkan olah budaya patraiarki yang terus dibiarkan begitu saja bisa kita lawan bersama-sama.

 

Catatan:

Tulisan ini adalah salah satu syarat untuk mengikuti Sekolah Islam dan Gender yang penulis buat pada tahu lalu(2020).

Reza Juliana Ningrum
Latest posts by Reza Juliana Ningrum (see all)

Tentang Penulis

Reza Juliana Ningrum

seorang pengangguran berstatus mahasiswa

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.