Studi Gender Buku: Kita Semua Harus Menjadi Feminis

Judul               : Kita Semua Harus Menjadi feminis

Penulis            : Chimamanda Ngozi Adichie

Penerbit          : Odyssee Publishing, 2019. Cetakan Pertama, Agustus 2019

 

Tetapi saya ingat bahwa ketika saya sedang berbicara dan beragumen, Okoloma menatapku dan berkata, “Kau tahu, kau seorang feminis.”

Itu bukan pujian. Saya tahu dari nada bicaranya—nada yang sama ketika orang mengatakan, “Kau adalah pendukung terorisme.”

Kalimat-kalimat di atas adalah salah satu poin utama dari buku Kita Semua Harus Menjadi Feminis yang ditulis oleh Cimamanda Ngozi Adichie. Seorang penulis yang karyanya telah diterjemahkan ke dalam tiga puluh bahasa. Sebelum kita membahas bukunya mari kita sedikit berkenalan dengan penulisnya.

Chimamanda Ngozi Adichie adalah seorang penulis dari Nigeria. Dia adalah penulis novel Purple Hibicius yang memenangkan Commonwealth Writers’ Prize dan Hurston/Write Legacy Award dan banyak prestasi luar biasa lainnya dari tulisan-tulisan yang juga ia buat. Perempuan yang berusia 43 tahun ini juga aktif mengisi atau menjadi ‘narasumber’ di acara TEDx Talks. Mungkin setelah ini kita bisa berkunjung ke video dengan pidato-pidato inspiratifnya di kanal youtube tersebut. Selanjutnya, dalam ulasan buku ini saya akan memanggil penulis dengan sebutan penulis atau Adichie.

Kembali berbicara tentang buku Kita Semua Harus Menjadi Feminis. Buku ini bercerita dengan ringan, bahkan ada humor di dalamnya. Walau bukunya terkesan lugas namun intinya tetap berupaya untuk membangun kesadaran tentang definisi unik dari feminisme di abad ke dua puluh satu ini.

PELABELAN NEGATIF PADA FEMINIS

Katanya, orang-orang mengatakan bahwa novel saya adalah novel feminis, dan nasihat yang ia berikan padaku—sambil menggelengkan kepalanya dengan sedih ketika berbicara—adalah supaya saya tidak menyebut diri sebagai seorang feminis, karena feminis adalah wanita tak bahagia karena sulit menemukan suami.

Bagian di atas masih sama maknanya dengan kutipan yang lebih awal. Dapat kita pahami bahwa yang disampaikan tersebut begitu dapat kita rasakan dan fahami. Secara umum feminisme diberikan pelabelan yang negatif. Hal tersebut terjadi bukan karena feminisme membawa dampak buruk, melainkan bagaimana pelabelan tersebar.

Miskonsepsi masyarakat awam kepada para feminislah yang menjadi sumber. Ada banyak contoh-contoh dan cerita bagaimana masyarakat melihat feminis dengan stereotip yang ada, seperti dikatakan bahwa seorang feminis tidak menikah, sulit mendapatkan suami, tidak suka memasak, membenci pekerjaan domestik dan semacamnya. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa hal-hal tersebut tidak benar adanya.

Dari stereotip-stereotip tersebut tentu tidak ada hal baik yang menjadi dampaknya. Para feminis yang harusnya fokus pada gerakan kesetaraan malah menjadi harus memulai gerakan mereka dengan begitu lambat dan lebih sulit akibat kesalahpahaman tersebut.

DISKRIMINASI GENDER

Judul dari pada sub bab di atas mungkin terdengar begitu membosankan. Namun lebih dari pada itu, yang harus kita sadari adalah istilah atau kata tersebut nyata adanya. Pengalaman yang disampaikan oleh Adichie di bukunya bercerita,

Setiap kali saya datang ke restoran Nigeria dengan seorang pria, pelayan akan menyambut pria itu dan mengabaikan saya. Para pelayan itu adalah produk dari masyarakat yang telah mengajarkan mereka bahwa laki-laki lebih penting daripada perempuan. Dan saya tahu bahwa mereka tidak ada maksud menyakiti.

Perbedaan perlakuan terhadap jenis kelamin tertentu tentunya tidak relevan dengan kemajuan berpikir manusia yang harusnya menghargai satu sama lain. Lalu, sebagaimana yang ditulis oleh Adichie di atas bahwasannya diskriminasi gender terjadi karena adanya nilai-nilai yang menganggap bahwa laki-laki lebih penting dari pada perempuan alias patriarki.

Nilai-nilai patriaki beranggapan bahwa di dunia ini ada kelas-kelas antara para jenis kelamin, dan laki-laki adalah makhluk yang menduduki peringkat teratas dari kelas-kelas tersebut. Oleh karena itu laki-laki selalu diutamakan, karena patriarki menganggap mereka sebagai sekelompok manusia superior, dan yang lainnya merupakan lian yang inferior. Baik di ranah publik maupun di ranah domestik.

PERMASALAHAN GENDER DI RANAH PUBLIK DAN DOMESTIK

Mereka tidak pernah berpikir bahwa ia hanya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pendahulunya—seorang pria.

Kutipan di atas adalah kesimpulan memilukan dari cerita seorang teman penulis yang diturunkan dari posisinya di dunia kerja hanya karena melakukan sesuatu yang sebagaimana seseorang menjabat di posisi tersebut, hanya saja dia seorang perempuan, karena itu dipermasalahkan.

Permasalahan gender di ranah publik memang begitu banyak. Ada upah yang tidak adil, diskirminasi—lagi, penyepelean, stereotip tentang perempuan, dan sebagainya. Dalam penentuan suatu jabatan misalnya, seorang perempuan  perlu bekerja dengan ekstra demi mendapatkan jabatan tertentu dibandingkan dengan seorang laki-laki. Karena budaya kita yang seolah berteriak bahwa, “Selama ada laki-laki, kenapa harus perempuan.”

Kekerasan seksual di ranah publik lebih kejam lagi. Terutama jika sampai ada penodongan kepada korban dengan kalimat-kalimat menyudutkan dan menyalahkan korban yang pada intinya ingin mengatakan bahwa kekerasan seksual tersebut terjadi akibat dari apa yang korban lakukan, apa yang korban pakai, dan sebagainya.

Permasalahan pada ranah domestik yang paling utama ialah kekerasan dalam rumah tangga. Catatan-catatan yang dilakukan pun banyak mencatat banyaknya kasus kekerasan dalam ranah personal antara suami dan istri. Belum lagi dengan beban ganda yang dipikul istri jika si istri bekerja di ranah publik dan harus mengerjakan secara penuh pekerjaan domestik, sedangkan si suami tidak mempunyai tanggungjawab yang sama.

Beban ganda ini tidak hanya terjadi pada istri saja, tapi juga anak perempuan. Adichie, mengupas bagian ini dengan begitu baik dengan harapan untuk membangun kesadaran, seperti dalam kutipannya;

Saya kenal sebuah keluarga yang memiliki putera dan puteri, usianya hanya terpisah satu-tahun, keduanya sama-sama cemerlang di sekolah. Ketika anak lelaki itu lapar, orangtuanya berkata kepada si anak perempuan, “Masakkan Indomie untuk abangmu.”

Yang menjadi pertanyaan, jika si anak perempuan yang lapar, apakah orangtuanya akan meminta si anak laki-laki untuk memasakkan sesuatu untuk adiknya?

Tidak, tentu saja tidak. Anak-anak yang tidak diajarkan akan tanggung jawabnya di rumah sebagaimana mestinya tidak akan diperlakukan demikian.

TOXIC MASCULINITY

Tapi sejauh ini, hal terburuk yang kita lakukan pada anak laki-laki kita dengan mendorong mereka supaya menjadi lelaki tangguh adalah meninggalkan mereka dengan ego yang sangat rapuh.

Harus kita sadari bahwa kita mengharuskan laki-laki bertindak maskulin, dan kita mengartikan suatu maskulinitas tersebut dengan begitu sempit dan kaku. Kesempitan dan kekakuan itu mengakibatkan ego laki-laki yang teramat tinggi.

Sialnya perempuan sebagaimana sosok inferior seharusnya—menurut patriarki—harus menjaga ego dari para lelaki yang tidak bisa memenuhi ekspetasi maskulin masyarakat. Perempuan dilarang bersekolah tinggi karena ditakutkan tidak akan ada laki-laki yang mau padanya karena ego si laki-laki akan mereka terkalahkan, perempuan dilarang sukses, dilarang tegas, dan sebagainya.

Padahal bukan salah perempuan jika seorang laki-laki tidak dapat memenuhi ekspetasi gendernya. Bukan peran perempuan untuk menjaga ego dari pada laki-laki. Kalau kata Adichie, “Pria yang merasa terintimidasi oleh saya adalah jenis pria yang tidak saya sukai.

KESIMPULAN

Menjadi seorang feminis berarti ikut dalam gerakan penghapusan perbedaan kelas gender, dan hal tersebut adalah sesuatu yang baik. Permasalahan-permasalahan akibat adanya kelas-kelas atau pemberian kotak atau kategori tertentu terhadap kaum laki-laki dan perempuan yang dijelaskan sebelumnya dapat kita entaskan dengan menerapkan ilmu-ilmu tersebut pada pikiran dan keseharian kita, dan yang terpenting adalah pada bagaimana kita akan mendidik anak-anak kita nanti. Jangan sampai anak perempuan kita merasa bahwa kehadirannya di dunia itu merupakan sebagai bentuk dari pada menyempurnakan laki-laki, dan jangan sampai anak-cucu laki-laki kita terus terjebak dan menjadi sosok yang maskunilitasnya harus dipenuhi oleh orang lain.

Terakhir, yang perlu diingatkan adalah buku ini memang berisikan pengalaman Adichie sebagai seorang perempuan Afrika di lingkungannya, namun hal tersebut tidak menjadi penghalang atau mengurangi kerelevanan buku ini terhadap perkembangan pemikiran kita sebagai orang-orang Indonesia yang ingin mengetahui tentang Studi Gender.

Reza Juliana Ningrum
Latest posts by Reza Juliana Ningrum (see all)

Tentang Penulis

Reza Juliana Ningrum

seorang pengangguran berstatus mahasiswa

Komentar

  1. Masih ada penggunaan tanda baca yang belepotan, tapi tulisan ini terasa mengalir dan enak dibaca. Jangan menyerah, teruslah mengasah kemampuan menulismu!

  2. Tulisan disajikan dengan baik dan ringan, tapi penuh pemaknaan. Ditunggu tulisan lainnya yang menginspirasi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.