Sumber Gambar : Google. com
Prasejarah
Secara geologi, wilayah Indonesia modern muncul kira-kira sekitar Zaman Pleistocene ketika wilayah itu masih berhubung dengan Asia Daratan. Pemukim pertama wilayah tersebut yang diketahui adalah manusia Jawa pada masa sekitar 500,000 tahun yang lalu. Kepulauan Indonesia seperti yang ada saat ini terbentuk pada saat melelehnya es setelah berakhirnya Zaman Es.
Era sebelum Penjajahan
Sejarah Awal Para cendekiawan India telah menulis tentang Dwipantara atau Kerajaan Jawa Dwipa Hindu di pulau Jawa dan Sumatera pada sekitar 200 SM. Kerajaan Taruma menguasai Jawa Barat pada sekitar tahun 400, dengan agama Buddha tiba di wilayah tersebut pada tahun 425. Pada Zaman Pembaharuan Eropa, Jawa dan Sumatera telah mempunyai warisan peradaban yang berusia ribuan tahun dan sepanjang dua buah kerajaan besar.
Kerajaan Hindu-Buddha
Berawal dari abad ke-4 di Kerajaan Kutai tepatnya di Kalimantan Timur merupakan Kerajaan Hindu pertama di Nusantara. kemudian perkembangan berlanjut antara abad ke-7 hingga abad ke-14, kerajaan Buddhisme Sriwijaya berkembang pesat di Sumatera. I Ching, penjelajah China, mengunjungi ibu kotanya di Palembang pada sekitar tahun 670. Pada puncak kejayaannya, Sriwijaya menguasai daerah sejauh Jawa Barat dan SemenanJunig Tanah Melayu. Abad ke-14 juga memperlihatkan kebangkitan sebuah kerajaan Hindu di Jawa Timur, Majapahit. Antara tahun 1331 hingga tahun 1364, Gadjah Mada, patih Majapahit, berhasil menguasai wilayah yang kini merupakan sebagian besarnya Indonesia bersama-sama hampir seluruh Semenanjung Melayu. Warisan dari zaman Gadjah Mada termasuk pengekodan undang-undang dan kebudayaan Jawa, seperti yang terlihat dalam roman kesateriaan Ramayana.
Kerajaan Islam
Islam tiba di Indonesia pada sekitar abad ke-12 dan melalui bercampur bebas, menggantikan agama Hindu sebagai agama yang terutama pada akhir abad ke-16 di Jawa dan Sumatera; hanya Bali yang tetap mempertahankan majoriti penganut Hindunya. Di kepulauankepulauan di timur, paderi-paderi Kristian dan ulama-ulama Islam diketahui sudah aktif pada abad ke-16 dan 17 dan pada saat ini, adanya sebagian yang besar penganut kedua-dua agama ini di kepulauan-kepulauan tersebut. Penyebaran Islam didorong oleh hubungan perdagangan di luar Nusantara; umumnya para pedagang dan ahli kerajaanlah yang pertama menganut agama baru tersebut. Kerajaan-kerajaan yang penting termasuk Mataram di Jawa Tengah, serta juga Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore di Maluku Timur.
Era penjajahan:
Penjajahan Portugis Penjajahan Syarikat Hindia Timur Belanda Mulai tahun 1602, Belanda memanfaatkan diri dengan perpecahan antara kerajaan-kerajaan kecil yang telah menggantikan Majapahit, dan beransur-ansur menjadi penguasa wilayah yang kini merupakan Indonesia. Satu-satunya yang tidak terpengaruh adalah Timor Portugis yang tetap dikuasai oleh Portugal sehingga tahun 1975 ketika ia bergabung dengan Indonesia untuk dijadikan salah sebuah provinsi dengan nama Timor Timur. Belanda menguasai Indonesia selama hampir 350 tahun kecuali dua waktu yang singkat, yakni ketika sebagian kecil dari Indonesia dikuasai oleh Britain selepas Perang Jawa Britain-Belanda, serta semasa penjajahan Jepang pada masa Perang Dunia II. Sewaktu menjajah Indonesia, Belanda mengembangkan Hindia-Belanda menjadi salah satu kuasa penjajah yang terkaya di dunia. Bagi sebagian orang, penjajahan Belanda selama 350 tahun adalah mitos belaka karena wilayah Aceh baru ditaklukkan kemudian selepas Belanda mendekati daerah jajahannya. Pada abad ke-17 dan abad ke-18, Hindia-Belanda tidak dikuasai secara langsung oleh pemerintah Belanda namun oleh syarikat perdagangan yang bernama Syarikat Hindia Timur Belanda (bahasa Belanda: Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC ). VOC telah diberikan hak monopoli terhadap perdagangan dan kegiatan penjajah di wilayah tersebut oleh Parlemen Belanda pada tahun 1602, dengan ibu pejabatnya di Batavia yang kini dinamai Jakarta. Tujuan utama Syarikat Hindia Timur Belanda adalah untuk mempertahankan monopolinya terhadap perdagangan rempahnya di Nusantara. Hal ini dilakukan melalui penggunaan ancaman kekerasan terhadap para penduduk di kepulauan-kepulauan penanaman rempah, dan terhadap orang-orang bukan Belanda yang mencoba berdagang dengan para penduduk tersebut. Contohnya, ketika penduduk Kepulauan Banda terus menjual buah pala kepada pedagang Inggris, angkatan tentara Belanda membunuh atau mengusir hampir seluruh penduduknya, dengan pembantupembantu atau budak-budak yang bekerja di perkebunan pala kemudian dihantar untuk tinggal di pulau-pulau tersebut sebagai ganti. Syarikat Hindia Timur Belanda menjadi terlibat dalam politik dalaman Jawa pada masa ini, dan bertempur dalam beberapa peperangan yang melibatkan pemimpin Mataram dan Banten.
Penjajahan Belanda
Selepas Syarikat Hindia Timur Belanda (SHTB) menjadi muflis pada akhir abad ke-18 dan selepas penguasaan United Kingdom yang singkat di bawah Thomas Stamford Raffles, pemerintah Belanda mengambil alih pemilikan SHTB pada tahun 1816. Belanda berjaya menumpaskan sebuah pemberontakan di Jawa dalam Perang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Selepas tahun 1830, sistem tanam paksa yang dikenali sebagai cultuurstelsel dalam bahasa Belanda mula diamalkan. Dalam sistem ini, para penduduk dipaksa menanam hasil-hasil perkebunan yang menjadi permintaan pasaran dunia pada saat itu, seperti teh, kopi dan sebagainya. Hasil-hasil tanaman itu kemudian dieksport ke luar negara. Sistem ini memberikan kekayaan yang besar kepada para pelaksananyabaik orang Belanda mahupun orang Indonesia. Sistem tanam paksa ini yang merupakan monopoli pemerintah dihapuskan pada masa yang lebih bebas selepas tahun 1870.
Pada tahun 1901, pihak Belanda mengamalkan apa yang dipanggil mereka sebagai Politik Beretika (bahasa Belanda: Ethische Politiek) yang termasuk perbelanjaan yang lebih besar untuk mendidik orang-orang pribumi serta sedikit perubahan politik. Di bawah Gabenor JenderalJ.B. van Heutsz, pemerintah Hindia-Belanda memperpanjang waktu penjajahan mereka secara langsung di seluruh Hindia-Belanda, dan dengan itu mendirikan asas untuk negara Indonesia pada saat ini.
Gerakan Nasionalisme
Pada tahun 1908, Budi Utomo, gerakan nasionalis yang pertama, ditubuhkan, diikuti pada tahun 1912 oleh gerakan nasionalis besar-besaran yang pertama, Sarekat Islam. Belanda membalas dengan langkah-langkah yang menindas selepas Perang Dunia I. Para pemimpin nasionalis berasal dari sekumpulan kecil yang terdiri dari para profesional muda dan pelajar, mereka itu dididik di Belanda. Banyak dari mereka yang dipenjarakan karena kegiatan politik mereka, termasuk juga Sukarno, presiden Indonesia yang pertama.
Perang Dunia II
Pada awal Perang Dunia II dalam bulan Mei 1940, Belanda diduduki oleh Nazi Jerman, dan Hindia-Belanda mengumumkan keadaan berjaga-jaga. Pada bulan Juli, Hindia-Belanda mengalihkan eksport untuk Jepang ke Amerika Syarikat dan Britain. Perundingan-perundingan dengan Jepang tentang pembekalan bahan api kapal terbang gagal pada bulan Juni 1941, dan Jepang memulai penaklukan Asia Tenggara pada bulan Desember tahun tersebut. Pada bulan yang sama, Sumatera menerima bantuan Jepang untuk memulai pemberontakan terhadap pemerintahan Belanda. Angkatan tentara Belanda yang terakhir dikalahkan oleh Jepang pada bulan Maret 1942.
Pendudukan Jepang
Pada bulan Juli 1942, Sukarno menerima tawaran Jepang untuk membentuk pemerintahan yang juga dapat memberikan jawapan kepada keperluan-keperluan tentara Jepang. Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ki Bagus Hadikusumo diberipangkat dan jabatan oleh maharaja Jepang pada tahun 1943. Tetapi pengalaman Indonesia dari penguasaan Jepang amat berbeda-beda, bergantung kepada tempat duduk seseorang serta status sosialnya. Bagi mereka yang tinggal di daerah yang dianggap penting dalam peperangan, mereka mengalami siksaan, penganiayaan seks kanak-kanak, penahanan sembarangan dan hukuman mati, serta kejahatan-kejahatan perang yang lain. Orang Belanda dan orang campuran Indonesia-Belanda merupakan sasaran yang utama untuk kezaliman pada zaman penguasaan Jepang di Indonesia.
Pada bulan Maret 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI). Dalam keputusan pertamanya pada bulan Mei, Soepomo menyatukan negara dan membantah individualisme; sementara itu, Muhammad Yamin mengusulkan bahwa negara baru tersebut juga sekaligus menuntut Sarawak, Sabah, Tanah Melayu, Portugis Timur, dan seluruh wilayah Hindia-Belanda sebelum perang. Pada 9 Agustus 1945, Sukarno, Hatta dan Radjiman Widjodiningrat terbang ke Vietnam untuk bertemu dengan Marsyal Terauchi. Akan tetapi mereka diberitahu bahwa angkatan tentara Jepang sedang menuju ke arah kehancuran. Walaupun demikian, Jepang berkeinginan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus .
Era Kemerdekaan
Persiapan Kemerdekaan Mendengar kabar bahwa Jepang tidak lagi mempunyai kekuatan untuk membuat keputusan seperti di atas, Sukarno membaca “Naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia” pada hari berikutnya, yaitu 17 Agustus 1945. Berita tentang pelaksanaan kemerdekaan disebarkan melalui radio dan risalah, sementara angkatan tentara Indonesia, Pasukan Pembela Tanah Air (PETA), serta para pemuda dan lain-lainnya berangkat untuk mempertahankan kediaman Sukarno. Pada 29 Agustus 1945, kumpulan tersebut melantik Sukarno sebagai Presiden Indonesia, dengan Mohammad Hatta sebagai wakilnya, melalui lembaga yang dirancang beberapa hari sebelumnya. Kemudian dibentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai parlemen sementara sehingga pilihanan umum dapat dijalankan. Lembaga tersebut menjalankan pemerintahan baru pada 31 Agustus, dengan
Republik Indonesia terdiri dari 8 buah provinsi, iaitu:
- Sumatera
- Kalimantan (tidak termasuk wilayah Sabah, Sarawak, dan Brunei)
- Pulau Jawa, iaitu Jawa Barat Jawa Tengah, dan Jawa Timur
- Sulawesi
- Maluku (termasuk Irian Barat/Papua)
- Nusa Tenggara.
Perang Kemerdekaan INDONESIA: ERA 1945-1949
Teks Proklamasi
Antara tahun 1945 hingga tahun 1949, persatuan laut Australia yang bersimpati dengan usaha kemerdekaan Indonesia melarang segala pelayaran Belanda pada sepanjang konflik ini agar Belanda tidak mempunyai sebarang dukungan logistik mahupun bekalan yang diperlukan untuk memulihkan kekuasaan penjajahannya di Indonesia. Usaha-usaha Belanda untuk kembali berkuasa menghadapi pertentangan yang hebat. Selepas kembali ke Jawa, angkatan tentara Belanda segera merebut kembali ibu kota Batavia, dengan akibat bahwa para nasionalis menjadikan Yogyakarta sebagai Ibu Negara mereka. Pada 27 Desember 1949, setelah empat tahun peperangan dan perundingan, Ratu Juliana dari Belanda memindahkan kedaulatan kepada pemerintah Persekutuan Indonesia. Pada tahun 1950, Indonesia menjadi anggota ke-60 Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Demokrasi Parlementer
Tidak lama setelah itu, Indonesia meluluskan undang-undang baru yang mencipta sebuah sistem demokrasi parlementer yang dewan eksekutifnya dipilih oleh parlemen atau MPR dan bertanggungjawab kepadanya. MPR pada mula-mula terdiri dari partai-partai politik sebelum dan selepas pilihan raya umum yang pertama pada tahun 1955 sehingga pemerintahan yang stabil tercapai. Peranan Islam di Indonesia menjadi masalah yang rumit, dengan Sukarno cenderung memilih sebuah sistem pemerintahan sekular yang berdasarkan Pancasila sementara beberapa kelompok Muslim lebih menginginkan negara Islam atau undang-undang yang terdiri dari syariat Islam.
Demokrasi Terpimpin
Pemberontakan di Sumatera, Sulawesi, Jawa Barat dan pulau-pulau yang lain yang dimulakan sejak tahun 1958, ditambah kegagalan MPR untuk mengembangkan sebuah perlembagaan yang baru, melemahkan sistem parlemen Indonesia. Akibatnya pada tahun 1959, ketika Presiden Sukarno pada dirinya sendiri mengembalikan perlembagaan 1945 yang bersifat sementara dan yang memberikan kuasa presiden yang besar kepadanya, beliau tidak menghadapi pertentangan. Antara tahun 1959 hingga tahun 1965, Presiden Sukarno memerintah melalui sebuah rejim yang autoritarian di bawah label “Demokrasi Terpimpin“. Beliau juga mengejar hubungan luar negeri, suatu langkah yang disokong oleh para pemimpin utama di negara-negara bekas jajahan yang juga menolak ikatan yang resmi dengan Blok Barat maupun Blok Kesatuan Soviet. Para pemimpin tersebut mengadakan Persidangan Asia-Afrika di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1955 untuk mendirikan asas yang kelak menjadi Negara-negara Non-Blok (NAM). Pada akhir dekade 1950-an dan awal dekade 1960-an, Sukarno bergerak lebih rapat kepada negara-negara komunis Asia dan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalam negeri. Meskipun PKI merupakan partai komunis yang terbesar di dunia di luar Kesatuan Soviet dan China, orang ramai tidak menunjukkan sokongan kepada ideologi komunis seperti di negara-negara lainnya.
Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Sukarno menentang pembentukan Persekutuan Malaysia karena menurut beliau, ini merupakan sebuah “rancangan neo-kolonialisme” yang bertujuan untuk melanjutkan keinginan perdagangan pihak Inggris di wilayah tersebut. Masalah ini kemudian mengakibatkan pertempuran antara Indonesia dengan Malaysia dan United Kingdom.
Irian Barat
Pada saat kemerdekaan, pemerintah Belanda mempertahankan kekuasaannya terhadap bahagian barat pulau Nugini (Irian), dan mengizinkan langkah-langkah yang menuju ke arah pemerintahan sendiri serta persiapan kemerdekaan pada 1 Desember 1961. Perundinganperundingan dengan Belanda terhadap penggabungan wilayah tersebut dengan Indonesia gagal, dengan pasukan-pasukan laskar terjun payung Indonesia mendarat di Irian pada 18 Desember sebelum kemudian terjadi pertempuran antara angkatan-angkatan tentara Indonesia dan Belanda pada tahun 1961 sehingga tahun 1962. Pada tahun 1962, Amerika Syarikat menekan Belanda agar setuju dengan perbincangan-perbincangan rahasia dengan Indonesia yang menghasilkan Perjanjian New York pada Agustus 1962, dengan Indonesia mengambil alih kekuasaan terhadap Irian Jaya pada 1 Mei 1963.
Gerakan 30 September
Sehingga tahun 1965, PKI telah menguasai banyak perserikatan besar-besaran yang dibentuk oleh Sukarno untuk memperkuat dukungan terhadap rejimnya. Dengan persetujuan dari Sukarno, pertubuhan-pertubuhan tersebut memulai untuk membentuk “Angkatan Kelima“, dengan mempersenjatai para pendukungnya. Pihak tertinggi dalam angkatan tentara Indonesia menentang masalah ini. Pada 30 September 1965, enam orang jenderal kanan dan beberapa orang yang lain dibunuh dalam sebuah percobaan perebutan kekuasaan yang disalahkan kepada para pengawal istana yang taat setia kepada PKI. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mejar Jenderal Suharto, menumpas kudeta tersebut dan berbalik melawan PKI. Suharto kemudian mempergunakan keadaan ini untuk mengambil alih kekuasaan. Lebih dari puluhan ribu orang yang dituduh sebagai komunis kemudian dibunuh. Jumlah korban pada tahun 1966 mencapai setidaknya 500.000 dengan pengorbanan yang paling parah terjadi di Jawa dan Bali.
Era Orde Baru
Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Suharto untuk waktu lima tahun sebagai presiden Indonesia. Beliau kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Presiden Suharto memulai “Orde Baru“ dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatik mengubah dasar-dasar luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang diikuti oleh Sukarno pada akhir kepresidenannya. Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan membubarkan struktur yang dikuasai oleh tentara atas nasihat dari ahli-ahli ekonomi didikan Barat. Selama waktu pemerintahannya, dasar-dasar ini dan eksploitasi sumber alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang pesat namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan amat dikurangkan pada dekadedekade 1970-an dan 1980-an. Bagaimanapun, beliau juga memperkaya diri, keluarga, dan rakanrakan rapatnya melalui amalan rasuah yang menular.
Irian Jaya
Setelah menolak pengawasan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pemerintah Indonesia menjalankan “Tindakan Pilihan Bebas “ (Act of Free Choice ) di Irian Jaya pada tahun 1969 yang memilih 1,025 orang ketua daerah Irian untuk dilatih dalam bahasa Indonesia. Mereka akhirnya memilih untuk bergabung dengan Indonesia. Sebuah ketetapan Perhimpunan Agung PBB kemudian mengesahkan perpindahan kekuasaan kepada Indonesia. Penolakan terhadap pemerintahan Indonesia menimbulkan aktivitas-aktivitas gerilya berskala kecil pada tahun-tahun berikutnya selepas perpindahan kekuasaan tersebut. Dalam suasana yang lebih terbuka selepas tahun 1998, pernyataan-pernyataan yang lebih eksplisit yang menginginkan kemerdekaan dari Indonesia telah muncul.
Timor Timur
Sejak dari tahun 1596 sehingga tahun 1975, Timor Timur adalah sebuah jajahan Portugis di pulau Timor yang dikenali sebagai Timor Portugis dan dipisahkan dari pesisir utara Australia oleh Laut Timor. Akibat Revolusi Anyelir di Portugal, penjabat Portugal secara mendadak berundur dari Timor Timur pada 1975. Dalam pilihan raya tempatan pada tahun tersebut, Partai Fretilin, sebuah partai yang dipimpin sebagiannya oleh orang-orang yang menyokong faham Marxisme, bersamasama UDT, menjadi partai-partai yang terbesar, selepas sebelumnya membentuk organisasi untuk berkampanye agar memperoleh kemerdekaan dari Portugal.
Pada 7 Desember 1975, angkatan tentara Indonesia masuk ke Timor Timur. Indonesia yang mempunyai dukungan senjata dan diplomatik, dibantu peralatan persenjataan yang disediakan oleh Amerika Syarikat dan Australia, berharap bahwa dengan memiliki Timor Timur, mereka akan memperoleh tambahan sumber minyak dan gas asli serta lokasi yang strategis. Pada peringkat awal, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) membunuh hampir 200,000 orang penduduk Timor Timur melalui pembunuhan langsung, pemaksaan kelaparan dan lain-lain. Banyak pelanggaran HAM yang terjadi semasa Timor Timur berada dalam wilayah Indonesia.
Pada 30 Agustus 1999, rakyat Timor Timur memilih untuk memisahkan diri dari Indonesia dalam sebuah pungutan suara yang dijalankan oleh PBB. Sekitar 99% penduduk yang berhak memilih turut serta; 75% memilih untuk merdeka. Setelah keputusan pungutan suara diumumkan, angkatan tentara Indonesia dengan segeranya melanjutkan pemusnahan di Timor Timur, umpamanya pemusnahan infrastruktur di daerah tersebut. Pada Oktober 1999, MPR membatalkan dekrit 1976 yang menggabungkan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia, dan Peralihan PBB (UNTAET) mengambil alih tanggungjawab untuk memerintah Timor Timur sehingga kemerdekaan penuh dicapai pada Mei 2002.
Krisis ekonomi
Suharto mengumumkan peletakan jabatannya didampingi B.J. Habibie. Pada pertengahan tahun 1997, Indonesia dilanda oleh krisis keuangan dan ekonomi Asia (baca: Krisis Keuangan Asia), disertai kemarau yang terburuk dalam waktu 50 tahun terakhir dan harga-harga minyak, gas asli dan komoditi-komoditi eksport yang lain yang semakin jatuh. Nilai rupiah jatuh, inflasi meningkat, dan perpindahan modal dipercepat. Unjuk rasa yang dipimpin oleh para mahasiswa mendesak peletakan jabatan Suharto. Di tengah-tengah kekacauan yang meluas, Suharto meletakkan jabatan sebagai presiden Indonesia pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya. Suharto kemudian memilih penggantinya, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.
Era Reformasi
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie dengan segera membentuk sebuah kabinet, dengan salah satu tugas yang utamanya memperolehan dukungan dari luar negeri untuk rancangan pemulihan ekonominya. Beliau juga membebaskan para tahanan politik dan melonggarkan kawalan terhadap kebebasan berpendapat dan kegiatan organisasi.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur)
Pemilihan umum untuk MPR, DPR, dan DPRD diadakan pada 7 Juni 1999, dengan Partai PDI Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati Sukarnoputri, anak perempuan Sukarno, muncul sebagai pemenang dalam pilihan raya parlemen dengan mendapatkan 34%; Golkar (partai Suharto yang sebelumnya selalu merupakan pemenang dalam pemilu) memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) 10%. Pada Oktober 1999, MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil Presiden untuk waktu lima tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada awal November 1999 dan melakukan rombakan kabinetnya pada Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokrasi dan perkembangan ekonomi di bawah keadaan-keadaan yang berlawanan. Di samping ketidakpastian ekonomi yang terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antara kelompok-kelompok etnik dan antara agama-agama, khususnya di Aceh, Maluku, dan Papua. Di Timor Barat, masalah yang ditimbulkan oleh rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal dan kekacauan yang diakibatkan oleh para orang militan Timor Timur pro-Indonesia menimbulkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang semakin menentang kebijakan Presiden Wahid, menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
Pemerintahan Megawati
Dalam MPR pertama pada bulan Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggungjawabannya. Pada 29 Januari 2001, ribuan penunjuk perasaan menyerbu MPR dan mendesaknya agar meletakkan jabatan atas alasan keterlibatannya dalam skandal. Di bawah tekanan dari MPR untuk memperbaiki pemerintahannya, beliau mengumumkan keputusan yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari kepada Megawati, wakil presidennya. Megawati mengambil alih jabatan presiden tidak lama kemudian.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada tahun 2004, pemilu diadakan, dengan Susilo Bambang Yudhoyono tampil sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal jabatannya menghadapi pengalaman yang pahit seperti gempa bumi besar di Aceh dan Nias pada Desember 2004 yang membinasakan sebagian Aceh serta gempa bumi di Sumatera pada bulan Maret 2005. Pada 17 Juli 2005, sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang bertujuan untuk mengakhiri konflik yang berpanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.