Sayang, PAPmu Amat Payah!

Gambar 1: Sumber Google

 

Saya bukan mahasiswa yang feed instragramnya rapih ataupun mempunyai banyak pengikut. Saya juga tidak memenuhi standar kecantikkan bodoh tapi tetap diakui masyarakat pada umumnya. Juga tidak banyak kenalan ataupun teman. Hobi saya menyendiri, pergi ke bioskop sendiri, mandi pun sendiri.

Pada intinya saya tidak berpikir bahwa saya menarik menurut — lagi-lagi standar yang ada di khalayak. Dan karena itu saya juga berpikir bahwa kemungkinan saya mendapatkan pelecehan melalui media sosial atau kekerasan gender berbasis online (KGBO) itu sangatlah kecil. Entah bagaimana saya tidak dapat menyingkirkan pemikiran kerdil tersebut walaupun saya tahu bahwa korban kekerasan itu bisa siapa saja. Dari laki-laki, perempuan, maupun bukan laki-laki dan perempuan. Dari yang memenuhi standar kecantikkan ataupun tidak, dari yang berpakaian minim sampai tertutup, semua bisa menjadi korban KGBO. Dan pelakulah yang sepenuhnya salah.

Tapi berbicara tentang KGBO, yang ‘menarik’ dan mungkin agak berbeda ialah bahwa saya secara tidak langsung menjadi korban KGBO. Saya sebut ‘secara tidak langsung’ karena bukan akun saya pribadi yang dituju, Melainkan  akun organisasi yang berkecimpung di gerakam emansipasi perempuan yang saya kelola lah yang diserang.

Saat itu entah bagaimana cuaca langit di daerah saya, jadi saya tidak akan menceritakan lebih detail dengan awalan apakah cuacanya cerah atau mendung dan berawan.

Jadi di cuaca yang entah cerah atau tidak tapi seingat saya cerah tersebut, saya tentunya sedang mamainkan gawai. Saya sedang bersemangat-semangatnya menjadi admin utama akun instagram organisasi yang saya urusi. Sehingga ketika ada notifikasi apapun, akan langsung saya buka.

Dan di salah satu momen saya membuka notifikasi akun instagram, betapa terkejutnya ketika saya mendapat DM atau pesan privat berupa teks perkenalan secamacam, “Hallo, saya blah blah, dari kampus blah blah,” dengan foto alat kelamin laki-laki sebagai bonusnya.

Tentu saya terkejut, ni laki pede amat ngirim pap otongnya, gitu loh!

Semacam rasa terkejut terheran-heran, sebegitu percaya dirikah beliau sampai dengan sekonyong-konyong mengirim foto alat kelaminnya yang menurut saya tidak menarik. Dan jangan minta saya menjabarkan lebih lanjut bagaimana fotonya. Saya tak tertarik melakukan body shaming, atau lebih tepatnya penis shaming haha.

Dari kejadian tersebut, saya pribadi hanya merasa lucu. Karena perasaan terheran-heran di atas. Tapi tentu ada rasa marah, sesantai apapun saya tapi hal tersebut tidak bisa kita biarkan begitu saja karena keterdiaman atau kepasrahan korban kemungkinan besar membuat pelaku KGBO terus melancarkan aksinya ke korban lain yang mungkin tidak sesantai saya dan dapat trauma karenanya.

Juga yang lebih menyedihkan adalah ketika saya curhat sedikit di snap akun whatsapp saya, reponsnya ialah sebagian orang banyak bertanya karena sebatas kepo bukan peduli, sebagian menganggap saya lebay karena baru sekali dikirim pap langsung bikin snap, sebagian lainnya ikut curhat pernah menjadi korban tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Kesimpulannya cukup dapat saya gambarkan dengan satu kata, miris.

Karena saya beranggapan bahwa tidak adanya empati kepada korban dan normalisasi kekerasan merupakan bentuk dari kekerasan itu sendiri, bisa kali ya respons orang-orang terhadap saya melalui whattsapp tersebut juga termasuk Kekerasan Gender Berbasis Online?!

 

Catatan: Tulisan setengah-setengah ini pernah saya unggah di akun medium pribadi penulis.

Reza Juliana Ningrum
Latest posts by Reza Juliana Ningrum (see all)

Tentang Penulis

Reza Juliana Ningrum

seorang pengangguran berstatus mahasiswa

Komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.