Apa yang kita pikirkan ketika mendengar kekerasan seksual? Perkosaan? Pencabulan dengan tindakan meraba tubuh seseorang secara paksa?
Membahas tentang kekerasan seksual selalu menjadi hal yang menarik tapi juga menyedihkan. Dikatakan demikian karena apa yang didapat dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 yang dirilis pada 5 Maret 2021 dinyatakan bahwa bentuk kekerasan yang paling menonjol setelah kekerasan fisik adalah kekerasan seksual(30%) dengan selisih masing-masing hanya 1% saja.
Kekerasan Seksual
Menurut WHO (World Health Organization), kekerasan seksual adalah setiap tindakan seksual, usaha melakukan tindakan seksual, komentar atau menyarankan untuk berperilaku seksual yang tidak disengaja ataupun sebaliknya, tindakan pelanggaran untuk melakukan hubungan seksual dengan paksaan kepada seseorang. Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa kekerasan seksual bukan hanya tindakan perkosaan ataupun pencabulan secara fisik, tetapi juga hal-hal seperti berkomentar dan sejenisnya yang berpengaruh pada psikis dan ketidaknyamanan seseorang juga termasuk sebagai kekerasan seksual.
Mengutip dari Komnas Perempuan, tercatat sejak tahun 1998 sampai 2013 ada 15 jenis kekerasan seksual:
- Perkosaan;
- Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan;
- Pelecehan Seksual;
- Eksploitasi Seksual;
- Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual;
- Prostitusi Paksa;
- Perbudakan Seksual;
- Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung;
- Pemaksaan Kehamilan;
- Pemaksaan Aborsi;
- Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi;
- Penyiksaan Seksual;
- Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual;
- Praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan;
- Kontrol seksual, termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama.
Apa yang ditemukan oleh Komnas Perempuan di atas tidak bersifat stagnan dan dapat berubah atau bertambah di setiap tahunnya. Dan salah satu akibat dari tingginya angka dari kekerasan seksual tersebut adalah pembatasan ruang gerak perempuan. Perempuan menjadi tidak merasa aman dalam melakukan berbagai hal, baik di ranah pribadi ataupun ruang publik.
Hal tersebut semakin parah dengan maraknya victim blaming atau menyalahkan korban kekerasan seksual tiap kali mencuatnya kasus kekerasan seksual. Disebut demikian dapat terlihat dari Survei daring pada 2016 yang dilakukan oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum. Lebih lanjut, hasil survey itu menyatakan bahwa korban kekerasan seksual sungkan melapor ke penegak hukum karena sangat mungkin tak ingin menjadi korban ganda berikutnya alias menyalahkan korban alih-alih pelaku. Seperti menyalahkan pakaian korban, menyalahkan korban yang bepergian malam, bepergian sendirian, dan hal sejenisnya.
Padahal pakaian korban tidak mempunyai peran sama sekali dalam kekerasan seksual. Survei yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman tentang “Survei Pelecehan Seksual di Ruang Publik” menyatakan bahwa jenis pakaian yang digunakan korban sangatlah beragam, seperti rok dan celana panjang (18%), baju lengan panjang (16%), seragam sekolah (14%), hijab (17%), dan baju longgar (14%). Dan hal tersebut mematahkan anggapan bahwa kekerasan seksual terjadi karena pakaian korban.
Dasar Hukum Kekerasan Seksual
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP hanya mengenal istilah perbuatan cabul yang ada dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Selain itu ada juga pasal mengenai penganiayaan pada umumnya yang terdapat pada Pasal 351 dan Pasal 353. Dalam hal memberantas kekerasan seksual, KUHP masih jauh dari kata sempurna. Karena pasal-pasal dalam KUHP masih mengatur hal-hal yang sifatnya sempit dan umum.
Contoh spesifiknya adalah apa yang terdapat pada pasal perkosaan, pasal 285 KUHP tersebut menyatakan bahwa perkosaan ialah:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Yang mana dalam pasal di atas tidak mengatur tentang perkosaan dalam perkawinan, melainkan perkosaan yang di luar perkawinan. Juga hanya berorientasi pada perkosaan pada perempuan, tidak dengan memposisikan laki-laki sebagai korban. Sehingga Pasal 285 KUHP di atas tidak dapat menjadikan KUHP sebagai dasar hukum pada Marital Rape ataupun jika korbannya adalah laki-laki.
Undang-undang lainnya yang ikut serta dalam mengatur atau memberantas kekerasan seksual ialah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Ketiga hukum pidana di luar KUHP di atas menjadi payung hukum dari apa yang tidak ada dalam KUHP. Namun baik KUHP ataupun undang-undang tersebut pada faktanya memang belum dapat memenuhi kekosongan payung hukum yang lebih bisa mengakomodir kebutuhan hukum untuk kepentingan korban kekerasan seksual. Maka dari itu munculah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Rancangan undang-undang yang biasa disebut dengan RUU PKS tersebut memiliki pengertian dan jenis kekerasan seksual yang jauh lebih luas dari pada dasar-dasar hukum yang ada sebelumnya di Indonesia. RUU PKS mengandung sembilan jenis kekerasan seksual dengan hukuman yang setimpal pada pelaku, juga pendampingan pada korban.
Peran Milenial Reformis
Keabsenan dari pada nilai-nilai humanis yang memihak pada perempuan dan anak maupun korban rentan kekerasan seksual lainnya pada dasar-dasar hukum sebelumnya menjadi bukti bahwa budaya patriarki yang mendiskreditkan dan memarjinalisasikan perempuan memang nyata adanya. Lalu hadirnya undag-undang baru dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ataupun Undang-Undang tentang Pornografi dan lainnya juga memberi tanda bahwa ada kemajuan dalam kehidupan manusia, khususnya hukum di Indonesia.
Namun faktanya memang kemajuan tersebut belum cukup. Dan keberpihakan dari pada pemangku kekuasaan pada kemanusiaan kembali dipertanyakan karena belum ditekannya pengesahan dasar hukum yang bisa berperan penting dalam menghapus berbagai masalah kekerasan seksual, yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Di luar daripada ketidak lengkapan payung hukum, ada juga berbagai stereotip atau pelabelan-pelabelan negatif masyarakat terhadap korban kekerasan seksual, juga pada perempuan dan anak pada umumnya sebagai kelompok rentan akan kekerasan. Hal tersebut memperparah sebab dan dampak dari kekerasan seksual.
Kita sebagai Milenial Reformis yang sadar dan peka akan kenyataan yang terjadi di sekitarnya harus memiliki peran penting dalam mengentaskan kekerasan seksual. Semua itu dimulai dari mana kita berada, sejak kapan kita tersadarkan, dan apa yang bisa kita lakukan.
Jangan sampai kita malah ikut dalam melestarikan stereotip pada korban kekerasan seksual atau bahkan menjadi pelaku kekerasan seksual. Milenial Reformis harus ikut berperan dengan mengedukasi diri sendiri juga orang di sekitar tentang bahayanya kekerasan seksual dan pentingnya keberpihakan pada korban kekerasan seksual. Mendukung pengesahan dari pada Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual pun bisa kita lakukan. Karena sebagai sosok Khalifah, sudah tugas kita untuk menjaga kelestarian dan kedamaian di dunia, sudah sepatutnya kita ikut serta dalam menghapuskan segala bentuk kekerasan dan ketidakadilan.
Catatan:
Penulis menuliskan artikel ini beberapa bulan yang lalu tanpa ada perubahan apapun kecuali judul. Tulisan ini adalah tulisan RTL dari acara Pelatihan Milenial Reformis Jakarta (Yayasan Mulia Raya). Penulis sudah memberikan naskah ini kepada pihak Mulia Raya terlebih dulu kepada sebelum mengunggahnya(tulisan) di sini.
- RUU PKS Bukan Payung Hukum yang Berpihak pada Perempuan - 13 September 2021
- Perhatikan Kesalahan dalam Tanda Baca! - 13 September 2021
- Lima Bentuk Ketidakadilan Gender - 13 September 2021
Kejar target ya bunds, sampe rtl yang belum tentu rapih aja diupload wkwkwkkwk
Nulis aja dulu yekaaan~
Mangats PMII PAKUAN!
Maaf mba, ari dari “milenial reformis” Kalo secara harfiah apa ya?
Hallo sahabat Adalah, terima kasih sudah meninggalkan komentar. Milenial reformis sebenernya adalah suatu tag line yang dibuat oleh Yayasan Mulia Raya, tapi simpulan pemaknaannya kurang lebih sama dengan pemaknaan secara umum. Yaitu generasi milenial yang siap menjadi sosok reformis, membawa perubahan atau perbaruan ke yang lebih baik.
Kerenn mantap lanjutkan menulisnya