Materi Aswaja (Ahlussunnah Wal Jama’ah)

Sumber Gambar : Google.com

 

  1. Definisi ASWAJA

Pengertian ahlusunnah aljama’ah terdapat dua pengertian yaitu secara terminologi (istilah)  dan etimologi (bahasa). Secara etimologi atau bahasa ahlu yang artinya para ahli atau pengikut alsunnah yang artinya jalan, cara atau perilaku dan aljamaah yang artinya perkumpulan atau sekelompok. Sedangkan aswaja menurut terminologi (istilah) yaitu ahlussunnah yang berarti orang-orang yang menganut dan mengikuti ajaran rasulullah sa baik dari segi perbuatan, ucapan maupun ketetapan. Dan aljama’ah yang berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW.  Jadi pengertian dari ahlusunnal aljamaah adalah sekumpulan orang yang mengikuti sunnah nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat (maa ana alaihi waashhabi), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf.

Ahlussunnah wal jamaah yang dimaksudkan diatas yaitu aswaja yang dalam bidang fiqih mengikuti imam abu hasan al asy’ari dan imam mansur al maturidi yang mengikuti salah satu 4 imam madzhab yaitu imam hanafi, imam maliki, imam syafi’I dan imam hambali. dalam bidang tasawuf aswaja mengikuti imam al-junaedi al-baghdadi dan imam al-ghazali.

 

  1. Sejarah ASWAJA

Kelahiran Aswaja, atau lebih tepatnya terminologi Aswaja, merupakan respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dalil-dalil agama pada abad ketiga Hijriah. Pertikaian politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Gubernur Damaskus, Muawiyah bin Abi Sufyan, yang berakhir dengan tahkim (arbitrase), mengakibatkan pendukung Ali terpecah menjadi dua kubu. Kubu pertama menolak tahkim dan menyatakan Ali, Muawiyah, Amr bin ‘Ash, dan semua yang terlibat dalam tahkim telah kafir karena telah meninggalkan hukum Allah. Mereka memahami secara sempit QS. Al-Maidah:44: “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka mereka telah kafir”. Semboyan mereka adalah laa hukma illallah, tiada hukum selain hukum Allah. Kubu pertama ini kemudian menjadi Khawarij. Sedangkan kubu kedua mendukung penuh keputusan Ali, sebab Ali adalah representasi dari Rasulullah saw, Ali adalah sahabat terdekat sekaligus menantu Rasulullah saw. Keputusan Ali adalah keputusan Rasulullah saw.

Kubu kedua ini kemudian menjadi Syiah. Belakangan, golongan ektstrem (rafidhah) dari kelompok ini menyatakan bahwa tiga khalifah sebelum Ali tidak sah. Bahkan golongan Syiah paling ekstrem yang disebut Ghulat mengkafirkan seluruh sahabat Nabi Saw kecuali beberapa orang saja yang mendukung Ali. Di sinilah awal mula pertikaian antara Syiah dengan Khawarij yang terus berlangsung hingga kini. Khalifah Ali kemudian dibunuh oleh Khawarij. Pembunuhnya adalah Abdurrahman bin Muljam, seorang penganut fanatik Khawarij. Menyedihkan, Ibnu Muljam ini sosok yang dikenal sebagai penghafal Al-Quran, sering berpuasa, suka bangun malam, dan ahli ibadah. Fanatisme dan minimnya ilmu telah menyeretnya menjadi manusia picik dan sadis. Berdasarkan musyawarah ahlul halli wal áqdi yang beranggotakan sahabat-sahabat besar yang masih tersisa waktu itu, menyepakati kedudukan Ali sebagai khalifah digantikan oleh puteranya Al-Hasan. Namun Al-Hasan hanya dua tahun menjabat sebagai khalifah. Ia mengundurkan diri dan menyerahkan jabatan khalifah kepada Muawiyah karena menurut ijtihadnya mengundurkan diri adalah pilihan terbaik untuk menyelesaikan perselisihan umat. Dalam sejarah, tahun pengunduran diri Al-Hasan dinamakan“am al-jamaáh” atau tahun persatuan. Naiknya Muawiyah menjadi khalifah menimbulkan reaksi keras dari kelompok Syiáh dan Khawarij. Mereka menolak kepemimpinan Muawiyah dan menyatakan perang terhadap Bani Umayah. Perselisihan makin memuncak manakala Muáwiyah mengganti sistem khilafah menjadi monarki absolut, dengan menunjuk anaknya Yazid sebagai khalifah selanjutnya.

Di sisi lain, tragedi Karbala yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullah saw Al-Husein dan sebagian besar ahlul bait Rasulullah saw pada masa Khlalifah Yazid bin Muawiyah, telah mengobarkan semangat kaum Syiah untuk memberontak terhadap Bani Umayah. Pertikaian selanjutnya melebar jadi pertikaian segitiga antara Bani Umayah, Syiah, dan Khawarij. Pertikaian terus berlanjut hingga masa Bani Abbasiah. Dua kelompok ini senantiasa merongrong pemerintahan yang sah. Chaos politik yang melanda umat Islam awal pada akhirnya juga melahirkan kelompok lain di luar Syiah dan Khawarij. Pada awal abad ketiga Hijriah muncul kelompok Murjiáh, yang berpendapat bahwa dalam persoalan tahkim tidak ada pihak yang berdosa. Dosa dan tidaknya serta kafir dan tidaknya seseorang bukanlah diputuskan di dunia, melainkan di akhirat oleh Allah SWT. Dari persoalan politik kemudian merembet menjadi persoalan akidah.Perdebatan siapa yang bersalah dalam konflik antara Ali dan Muawiyah melebar jadi perdebatan tentang perbuatan manusia. Setelah Murjiáh, muncullah aliran Jabariyah (fatalisme) dan Qodariah (fre act and fre will). Jabariyah berpendapat, perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan, artinya manusia tak lebih laksana wayang yang digerakkan oleh dalang.

Qadariyah berpendapat sebaliknya, bahwa manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya tanpa ada “campur tangan” Tuhan terhadapnya. Setelah Qodariah dan Jabbariah, berikutnya muncul aliran Mu’tazilah yang berpendapat sama dengan Qodariah dalam hal perbuatan manusia, namun mereka menolak penetapan sifat (atribut) pada Allah. Menurut Mu’tazilah, bila Allah memiliki sifat berarti ada dua materi pada Allah, yakni Dzat dan Sifat, hal ini berarti telah syirik atau menduakan Allah. Lahirnya aliran-aliran ekstrem setelah Syiah dan Khawarij bukan hanya disebabkan oleh persoalan politik yang melanda umat Islam awal, akan tetapi juga dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran dari luar Islam.

Hal ini merupakan imbas dari semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi wilayah-wilayah bekas kekaisaran Persia dan Romawi yang sudah lebih dahulu memiliki peradaban yang mapan dan telah bersentuhan dengan rasionalisme Yunani dan filsafat ketimuran. Seperti yang saya kemukakan di awal tulisan ini, kemunculan istilah Aswaja merupakan respon atas kelompok-kelompok ekstrem pada waktu itu.

Aswaja dipelopori oleh para tabiín (generasi setelah sahabat atau murid-murid sahabat) seperti Imam Hasan Al-Bashri, tabi’tabiín (generasi setelah tabiín atau murid-murid tabiín) seperti Imam-imam mazhab empat, Imam Sufyan Tsauri, Imam Sufyan bin Uyainah. Ditambah generasi sahabat, inilah yang disebut dengan periode salaf, sebagaimana disebut oleh Rasulullah saw sebagai tiga generasi terbaik agama ini. Selepas tabi’ tabiínajaran Aswaja diteruskan dan dikembangkan oleh murid-murid mereka dan dilanjutkan oleh generasi-generasi berikutnya.Mulai dari Imam Abul Hasan Al-Asyári, Imam Abu Manshur Al-Maturidi, Imam Al-Haromain, Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, Imam Al-Ghazali dan seterusnya sampai Hadratussyekh Hasyim Asyári. Dalam memahami dalil Al-Qur’an dan Sunnah Aswaja mengikuti metodologi para sahabat, yakni metodologi jalan tengah (moderat), keseimbangan antara pengunaan teks suci dan akal.

. 4 prinsip nilai ke-aswajaan

Ada 4 prinsip ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil ‘aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT

: لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

al-i’tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman:

 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah:8)

tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir’aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, “Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir’aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah”. (Tafsir al-Qur’anil ‘Azhim, juz III hal 206). Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

  1. ASWAJA sebagai Manhajul Fikr

Aswaja atau ahlussunnah wal jama’ah yang mengikuti imam asy’ariyah dan maturidiyah dalam bidang aqidah. Fiqr yang artinya doktrin dan harakah yang artinya bergerak sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan seperti sandal jepit  karena fikr tanpa harakah akan serampangan, yang harus kita waspadai yaitu asobiyah yang arti nya fanatik dalam harakah, menurut imam asegaf Islam yang didatangkan atau dibawakan oleh nabi Muhammad saw untuk mendatangkan kebahagiaan bagi manusia bukan umat islam saja yang artinya kita sebagai umat islam ala ahlussunnah wal jama’ah asyariyah maturidiyah an nahdliyah secara manhajul fiqr wal harakah islam yang saadatul basyar atau membahagiakan manusia. (tambahin)

(menyikapi sesuatu dalam aswaja) (dibuat table cpntph dari 4 prinsip aswaja)

 

Sumber https://www.nu.or.id/post/read/70356/sejarah-metode-berpikir-dan-gerakan-aswaja

https://www.nu.or.id/post/read/16551/karakter-tawassuth-tawazun-i039tidal-dan-tasamuh-dalam-aswaja

Buku-buku Yang direkomendasikan dalam materi ini:

  1. Buku Pintar ASWAJA

 Lembar  Kerja Evaluasi

Jawablah pertanyaan dibawah ini

  1. Anda berada di perguruan tinggi yang mahasiswanya sangat beragam baik ras, suku, agama, pemabok, pengedaran narkoba, pengurus mesjid. Anda menjadi ketua kelompok tugasnya adalah menganalisis tentang strategi menekan kenakalan remaja. Bagaimana strategi anda supaya mendapatkan hasil yang komprehensif.

Tentang Penulis

Muhamad Fadhil Ismayana

Manusia berjiwa Sosialis dan Kehidupan Realistis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.