maskulinitas dan feminitas?

Maskulinitas 

Menurut pilcher dan whelehan, maskulinitas adalah seperangkat praktik sosial dan representasi budaya yang terkait dengan menjadi laki-laki, dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa laki-laki harus memenuhi kriteria yang maskulin, dimana laki-laki melekat dengan kejantanan, keberanian, superior dan agresif. Hal ini menjadikan sebuah akar dari permasalahan ketidakadilan gender, kita bisa melihatnya dalam praktik perpolitikan di Indonesia, dimana maskulinitas menjadi acuan dasar dalam menduduki sebuah jabatan. Sehingga laki-laki yang lebih diuntungkan dengan keadaan ini.

Lalu, konsep maskulinitas yang keliru dapat menjadi salah satu faktor laki-laki untuk melakukan kekerasan rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual hingga pemekosaan. Dalam catatan komnas perempuan, kekerasan seksual mengalami kenaikan sebesar 81% ditahun 2021. Presentase sebesar ini kemudian membuat perempuan merasa ruang-ruang publik menjadi ancaman untuk melakukan aktifitas keseharian, lalu laki-laki yang menjadi pelaku kekerasan seksual seringkali tidak pernah disalahkan dan jarang mendapatkan hukuman yang membuatnya jera. Karenanya tidak jarang korban yang selalu disalahkan oleh masyarakat entah karena pakaian, gaya hidup atau yang lainnya, Kontruks sosial yang berkembang di masyarakat tentang gender yang menjadi permasalahan besar bagi perempuan. Meskipun laki-laki bisa saja menjadi korban.

 

Feminitas 

Kemudian lawan dari maskulinitas adalah feminitas, menurut KBBI Feminitas diartikan sebagai kewanitaan. Bagaimana masyarakat memandang perempuan yang identik dengan sifat kewanitaan imperior, tidak agresif dan tidak rasional. Sehingga jika perempuan menjadi pemimpin dianggap tidak cocok karena perempuan identik dengan sikap feminitas tersebut. Tentu hal ini sangat merugikan perempuan jika tolak ukur kemampuan kepemimpinan seseorang hanya ditentukan oleh sifat-sifat maskulin dan feminim. Contoh lain dalam bidang tenaga kerja. Di Indonesia, partisipasi tenaga kerja perempuan berhenti diangka 50% selama 30 tahun terakhir. presentasi ini dikutip dari penelitian Melbourne Institute Research Insight, angka tersebut merupakan misteri karena ekonomi di Indonesia mulai tumbuh dan tingkat pendidikan perempuan telah meningkat, ternyata ada beberapa faktor kenapa peremuan berhenti bekerja, salah-satunya yaitu apabila perempuan pekerja sudah menikah dan berkeluarga memiliki dua status dan peran (double burden). Akibatnya, angkatan kerja perempuan yang terlambat memasuki angkatan kerja sekitar 70% perempuan usia kerja berumur 45 tahun. Ini adalah usia yang sangat terlambat untuk melihat puncak partisipasi angkatan kerja perempuan. Betapa melekatnya perempuan dalam hal urusan domestik dan mengurus anak, Mengurusi urasan tersebut selalu harus perempuan karena nilai feminitas yang dipandang oleh masyarakat.

Konsep peran gender selalu berkaitan dengan maskulinitas dan feminitas, konsep ini dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu dari tempat ke tempat lain karena budaya masyarakat. Maskulinitas dan feminitas bukan sesuatu hal yang melekat terus menerus pada jenis kelamin tertentu, ketika dilahirkan berjenis kelamin laki-laki tidak 100% maskulin tanpa adanya feminitas sama sekali, begitupun sebaliknya. Ketika dilahirkan sebagai perempuan bukan berarti 100% feminim tanpa adanya maskulin. Belum lagi soal standar ganda (Double standard) yang sering kali kita rasakan seperti apa yang dipaparkan diatas. Hal ini yang seharunya menjadi acuan kita untuk menghilagkan bersama budaya patriarki ini. Karena, bukan hanya perempuan yang merasa dirugikan, laki-laki ada juga yang dirugikan. Kemudian jika hegemonitas ini terus menerus masyarakat lekatkan, Akan membawa dampak negatif bagi perempuan maupun laki-laki.

Bagaimana jika lingkungan kita sudah terlanjur terbentuk seperti itu dan tindakan apa yang harus kita lakukan? Ini menjadi pertanyaan besar bagi kita semua khususnya sebagai aktivis perempuan yang selalu memperjuangkan kesetaraan gender. Mungkin penulis disini memberikan sedikit penyelesaian dalam permasalahan ini, pertama menjadikan lingkungan sekitar kita yang ramah gender seperti ketika teman laki-laki kita sedang nangis atau galau karena pacar, alangkah baiknya kita menjadi pendengar yang baik bukan menjadi penghujat yang buruk. yang kedua membangun komunitas yang selalu melibatkan kedua gender laki-laki dan perempuan, karena kenapa? Tidak semua laki-laki merasakan hal diatas ‘merasa dirugikan’ oleh budaya patriarkis ini malah hal itu menjadi kesempatan mereka. Belum lagi tidak adanya komunitas yang membicarakan permasalahan laki-laki, ketika laki-laki yang sering berkumpul sangat jarang laki-laki membahas hal ini, karena harus lebih terlihat superior dengan perempuan.

*tulisan pas mau skk ygy

 

Daftar Pustaka :

Pilcher, Jane dan Whelehan, Imelda. (2017). Key Concept in Gender Studies 2nd Edition. London : SAGE Publication.

Nur Hasyim, Kajian Maskulinitas dan Masa Depan Kajian Gender dan Pembangunan Indonesia,JSW:Jurnal Sosiologi Walisongo, Vol,1.No,1,2017

https://theconversation.com/why-indonesias-wealth-isnt-translating-into-jobs-for-women-132770

https://www.instagram.com/p/Ca6O089PbVX/?utm_medium=copy_link

https://tirto.id/mengenal-sosiologi-gender-maskulinitas-feminitas-ketimpangannya-gf8w

https://cewekbanget.grid.id/read/06875152/double-standard-alias-standar-ganda-yang-sering-kita-temui-sehari-hari?page=all

https://www.tempo.co/dw/492/apa-kabar-pekerja-perempuan-indonesia

Komentar

  1. Makasih poi atas ilmunya, ayo kita bahas bareng bareng annti. Ditunggu tulisan lainnya 😀

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.