Gambar 1: sumber dari google
Berbicara tentang challenge atau tantangan, keadaan KOPRI sendiri telah menjalani begitu banyak hal tersebut. Dimuali dari sejak adanya Divisi Keputrian pada tahun 1960 yang gerakannya sebatas pada memasak, menjahit, dan urusan dapur. Lalu terbentuk KOPRI atau Korps PMII Putri sebagai badan semi otonom PMII yang gerakannya lebih luas. Dengan segala perubahan sampai mencetuskan adanya LKK (Latihan Kader KOPRI) dan LPKK (Latihan Pelatih Kader KOPRI).
Bahkan KOPRI sampai pernah dibubarkan pada Kongres ke XIII di Medan. Tapi pada kongres berikutnya, karena melemahnya PMII khususnya pada gerakan kader-kader perempuan, KOPRI pun diadakan kembali. Tepatnya pada Kongres XIV di Kutai Kertanegara Kalimantan Timur melalui POKJA Perempuan PMII.
Hingga saat ini KOPRI terus berusaha untuk membentuk diri sebagai wadah kaderisasi yang terus membaik. Hal tersebut ditunjukkan dengan semakin terstrukturnya KOPRI dengan adanya Panduan Penyelenggaraan dan Pelaksanaan KOPRI (LPPK). Juga kaderisasi formal yang berjenjang dengan peraturan atau kurikulum yang jelas.
Itu merupakan cerita versi amat singkat yang dihadapi KOPRI sebagai kelembagaan pusat. Secara individu kader KOPRI sendiri sebenarnya menghadapi permasalahan yang konsepnya bisa dikatakan sama. Yaitu tersendat oleh sistem(faktos eksternal) dan diri sendiri(internal).
Lalu, bagaimana gerakan KOPRI saat ini?
Apa itu Choose to Challenge?
Sebelum masuk pada pembahasan mengenai gerakan KOPRI, mari kita bahas sedikit mengenai sub tema dari tulisan ini, ialah mengenai ‘Choose To Challenge’. Dikutip dari internationalwomansday.com maksud dari ‘Choose To Challenge’ artinya merupakan perempuan bebas memilih untuk menantang dan menyerukan tentang bias gender dan ketidaksetaraan gender.
Dunia yang menantang adalah dunia yang penuh peringatan. Secara individu, setiap orang bertanggungjawab atas pikiran dan tindakan kita pada setiap hari dan setiap waktunya. Oleh karena itu gerakan kampanye Choose To Challenge dipilih karena dianggap tepat dalam menyerukan penentangan-penentangan atas ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender yang ada.
Choose To Challenge juga dapat diartikan sebagai gerakan-gerakan para perempuan dalam memilih. Maksudnya memilih ialah memilih untuk menantang berbagai stereotip yang ada di masyarakat tentang perempuan dengan pembuktian bahwa perempunan-perempuan juga dapat menduduki dan memimpin di ruang-ruang publik.
Gerakan Perempuan di Ruang Publik
Masyarakat yang memandang perempuan sebagai sosok yang harus feminim dan laki-laki harus maskulin menjadi peran penting dalam kasus perempuan dan ruang publik. Karena kontruksi sosial menganggap perempuan harus feminim, perempuan pun diindentikan dengan kegiatan di ranah domestik dan begitu asing di ranah publik. Ranah publik yang identik dengan kekuatan-kekuatan maskulin tentunya dianggap hanaya diperuntukkan kepada para lelaki. Yang padahal itu adalah kekeliruan semata. Gender membuat kita berperilaku apa yang seperti diinginkan, bukan membuat kita berperilaku sebagaimana kita sebenarnya.
Dari situlah, anggapan kolot bahwa perempuan bukan tempatnya berada di sektor publik apalagi memimpin di sana. Karena hal tersebut, perempuan terus dilatih sebatas pada latihan untuk melakukan hal domestic. Ketika di ruang publik, anggapannya adalah, “Selama ada laki-laki, kenapa harus perempuan.”
Di Indonesia sendiri, gerakan perempuan dalam ruang-ruang publik bukan merupakan hal yang baru. Sejak masa sebelum kemerdekaan, ada Pawijatan Wanito di Magelang yang berdiri pada tahun 1915, PIKAT (Perantaraan Ibu kepada Anak Temurun) dari Manado pada tahun 1917. Lalu, ada juga Poetri Boedi di Surabaya yang telah berdiri sejak pada tahun 1919 (Suryochondro, 1999:3).
Atau ada juga salah satu organisasi perempuan yang begitu massif, yaitu GERWANI. Gerakan Wanita Indonesia atau GERWANI merupakan salah satu organisasi perempuan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Gerakan-gerakan yang mereka lakukan pun memulai dengan gerakan akar rumput berupa membantu masyarakat kelas bawah untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak dan sejenisnya. Sayangnya, GERWANI dibubarkan dengan cara yang tidak begitu manusiawi atas dasar sesuatu yang tidak pernah terbukti merupakan kesalahan mereka.
Pembubaran GERWANI juga menjadi awal dari faham-faham yang Orde Baru lestarikan. Ialah menggap perempuan sebagai sosok ‘feminim yang subordinat’. Pada zaman Orde Baru pun egerakan-gerakan perempuan Indonesia terakomodir dengan: Dharma Wanita, PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), Persit (Persatuan Istri Tentara), Candra Kirana (Istri Angkatan Darat), Jalasenastri (Istri Angkatan Laut), PIA Ardhya Garini (Istri Angkatan Udara), Bhayangkari (Istri anggota POLRI).
Nampak jelas bukan bagaiaman di rezim Orde Baru perempuan-perempuan dilihat hanya sebagai si lian dari para laki-laki. Pada zaman inilah gerakan perempuan Indonesia begitu lemah karena sistem.
Lalu Bagaimana Gerakan Perempuan Indonesia di Ruang Publik saat ini?
Setelah reformasi, ruang publik menjadi tempat yang lebih memungkinkan untuk perempuan. Setidaknya begitu jika dibandingkan dengan masa Orde Lama dengan segala sifat patriarkinya.
Jika berbiacara tentang ruang publik, tentu kita akan membahas tentang jabatan-jabatan politik nasional. Dalam jabatan ligislatif sendirri sebanyak 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024 yang terpilih sudah dilantik. Dari jumlah itu, terdapat 118 perempuan atau 20,52% dari total jumlah. Memang angka itu naik dari 97 kursi di periode sebelumnya, namun bahkan masih terlalu jauh untuk sampai pada angka 30%.
Sedangkan di jabatan legislatif yang lebih regional, hanya 26 (5,14%) DPRD yang mencapai keterwakilan perempuan 30% dan sisanya, 177, memiliki keterwakilan antara 15% dan 30%. Komisi Persamaan Peluang PBB (United Nations Equal Opportunities Commission) pada tahun 2003 menyebutkan bahwa persentase 30% perempuan di parlemen merupakan jumlah minimal agar mampu mempengaruhi kebijakan sosial terutama terkait dengan kesejahteraan perempuan.
Sedangkan seperti apa yang telah kita lihat di atas bahwa Indonesia belum mencapai angka tersebut. Adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang minimal kuota 30% untuk perempuan calon legislatif memang belum terbukti berperan signifikan dalam mendorong perubahan positif untuk kaum perempuan.
Yang perlu kita semua catat adalah, kaum peremuan yang tercalonkan belum tentu menajdi pihak yang terpilih. Apalagi tidak ada sanksi tegas apapun untuk partai yang tidak memenuhi kuora pencalonan perempuan legislatif 30% tersebut.
Jadi sebenarnya bukan merupakan hal yang aneh ketika World Bank (2019) mengatakan bahwa partisipasi perempuan Indonesia dalam parlemen begitu rendah. Indonesia ada di peringkat ke-7 di Asia Tenggara tentang keterwakilan perempuan di parleemen.
Lalu, bagaimana KOPRI menghadapinya?
Kesimpulan Gerakan KOPRI Menuju Choose To Challenge
Dalam menuju atau mewujudkan Choose To Challenge KOPRI membutuhkan gerakan yang jelas. Dalam Choose To Challenge, kader KOPRI harus dapat bergerak untuk dapat menantang berbagai kedudukan-kedudukan atau jabatan di ruang publik.
Kendala-kendala yang KOPRI hadapi ialah:
- Marjinalisasi perempuan
- Subordinasi
- Stereotip
- Kekerasan
- Double Burden (beban kerja ganda)
Maka cara-cara yang bisa KOPRI lakukan dengan berbagai pelajaran yang dapat kita lihat dari sejarah dan perjalanan gerakan perempuan ialah:
- Strategi Internal
- Mengasah kemampuan atau SDM kader KOPRI
- Terus meng-upgrade KOPRI sebagai kelembagaan yang adil gender dan produktif
- Memaksimalkan kaderisasi-kaderisasi di PMII dan KOPRI
- Strategi Ekternal
- Penguatan jaringan pada senior-senior KOPRI
- Pembentukkan jaringan-jaringan di luar PMII
- Terus berperan aktif di tengah masyarakat
Catatan: Artikel ini adalah pemenuhan salah satu syarat mengikuti SKK pada bulan Agustus lalu sebagai peserta.
- RUU PKS Bukan Payung Hukum yang Berpihak pada Perempuan - 13 September 2021
- Perhatikan Kesalahan dalam Tanda Baca! - 13 September 2021
- Lima Bentuk Ketidakadilan Gender - 13 September 2021
Mantull Tulisan nya sahabati Ina lanjutkan menulisnya